Keshogunan Tokugawa
Lambang keluarga (kamon) klan Tokugawa
Keshogunan Tokugawa (徳川幕府 Tokugawa bakufu?, 1603—1868) atau Keshogunan Edo (Edo bakufu) adalah pemerintahan diktator militer feodalisme di Jepang yang didirikan oleh Tokugawa Ieyasu dan secara turun temurun dipimpin oleh shogun keluarga Tokugawa. Dalam periode historis Jepang, masa pemerintahan Keshogunan Tokugawa disebut zaman Edo, karena ibu kota terletak di Edo yang sekarang disebut Tokyo. Keshogunan Tokugawa memerintah dari Istana Edo hingga Restorasi Meiji.
Keshogunan Tokugawa adalah pemerintahan diktator militer ketiga dan terakhir di Jepang setelah Keshogunan Kamakura dan Keshogunan Muromachi. Keshogunan Tokugawa dimulai pada tanggal 24 Maret 1603 dengan pengangkatan Tokugawa Ieyasu sebagai Sei-i Taishōgun dan berakhir ketika Tokugawa Yoshinobu mengembalikan kekuasaan ke tangan kaisar (Taisei Hōkan) pada 9 November 1867.
Pemerintahan keshogunan Tokugawa selama 264 tahun disebut sebagai zaman Edo atau zaman Tokugawa. Periode terakhir Keshogunan Tokugawa yang diwarnai dengan maraknya gerakan untuk menggulingkan keshogunan Tokugawa dikenal dengan sebutan Bakumatsu.
Oda Nobunaga dan penerusnya Toyotomi Hideyoshi merupakan pemimpin Jepang di zaman Azuchi Momoyama yang berhasil mendirikan pemerintah pusat setelah berhasil mempersatukan provinsi-provinsi di zaman Sengoku. Setelah Pertempuran Sekigahara di tahun 1600, kekuasaan pemerintah pusat direbut oleh Tokugawa Ieyasu yang menyelesaikan proses pengambilalihan kekuasaan dan mendapat gelar Sei-i Taishōgun di tahun 1603. Tokugawa Ieyasu sebetulnya tidak memenuhi syarat sebagai shogun karena bukan keturunan klan Minamoto. Agar syarat utama menjadi shogun terpenuhi, Ieyasu memalsukan garis keturunannya menjadi keturunan klan Minamoto agar bisa diangkat menjadi shogun. Keturunan Ieyasu secara turun-temurun menjadi shogun dan kepala pemerintahan sampai terjadinya Restorasi Meiji.
Di masa Keshogunan Tokugawa, rakyat Jepang dibagi-bagi menurut sistem kelas berdasarkan pembagian kelas yang diciptakan Toyotomi Hideyoshi. Kelas samurai berada di hirarki paling atas, diikuti petani, pengrajin dan pedagang. Pemberontakan sering terjadi akibat pembagian sistem kelas yang kaku dan tidak memungkinkan orang untuk berpindah kelas. Pajak yang dikenakan terhadap petani selalu berjumlah tetap dengan tidak memperhitungkan inflasi. Samurai yang menguasai tanah harus menanggung akibatnya, karena jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan semakin hari nilainya semakin berkurang. Perselisihan soal pajak sering menyulut pertikaian antara petani kaya dan kalangan samurai yang terhormat tapi kurang makmur. Pertikaian sering memicu kerusuhan lokal hingga pemberontakan berskala besar yang umumnya dapat segera dipadamkan. Kelompok anti keshogunan Tokugawa justru semakin bertambah kuat setelah keshogunan Tokugawa mengambil kebijakan untuk bersekutu dengan kekuatan asing.
Setelah kalah dalam Perang Boshin yang berpuncak pada Restorasi Meiji, keshogunan Tokugawa berhasil ditumbangkan persekutuan kaisar dengan sejumlah daimyo yang berpengaruh. Keshogunan Tokugawa secara resmi berakhir setelah shogun Tokugawa ke-15 yang bernama Tokugawa Yoshinobu mundur dan kekuasaan dikembalikan ke tangan kaisar (Taisei Hōkan).
Pemerintahan
Keshogunan dan wilayah han
Shogun Tokugawa Ieyasu
Sistem politik feodal Jepang di zaman Edo disebut Bakuhan Taisei (幕藩体制?), baku dalam "bakuhan" berarti "tenda" yang merupakan singkatan dari bakufu (pemerintah militer atau keshogunan). Dalam sistem Bakuhan taisei, daimyo menguasai daerah-daerah yang disebut han dan membagi-bagikan tanah kepada pengikutnya. Sebagai imbalannya, pengikut daimyo berjanji untuk setia dan mendukung daimyo secara militer.
Kekuasaan pemerintah pusat berada di tangan shogun di Edo dan daimyo ditunjuk sebagai kepala pemerintahan di daerah. Daimyo memimpin provinsi sebagai wilayah berdaulat dan berhak menentukan sendiri sistem pemerintahan, sistem perpajakan, dan kebijakan dalam negeri. Sebagai imbalannya, daimyo wajib setia kepada shogun yang memegang kendali hubungan internasional dan keamanan dalam negeri. Shogun juga memiliki banyak provinsi dan berperan sebagai daimyo di provinsi yang dikuasainya. Keturunan keluarga Tokugawa disebar sebagai daimyo di seluruh pelosok Jepang untuk mengawasi daimyo lain agar tetap setia dan tidak bersekongkol melawan shogun.
Keshogunan Tokogawa berhak menyita, menganeksasi, atau memindahtangankan wilayah di antara para daimyo. Sistem Sankin Kotai mewajibkan daimyo bertugas secara bergiliran mendampingi shogun menjalankan fungsi pemerintahan di Edo. Daimyo harus memiliki rumah kediaman sebagai tempat tinggal kedua sewaktu bertugas di Edo. Anggota keluarga daimyo harus tetap tinggal di Edo sebagai penjaga rumah sewaktu daimyo sedang pulang ke daerah, sekaligus sebagai sandera kalau daimyo bertindak di luar keinginan shogun.
Daimyo dari keturunan klan Tokugawa dan daimyo yang secara turun temurun merupakan pengikut setia klan Tokugawa disebut Fudai Daimyo. Sedangkan daimyo yang baru setia kepada klan Tokugawa setelah bertekuk lutut dalam Pertempuran Sekigahara disebut Tozama Daimyo. Golongan yang selalu mendapat perlakuan khusus disebut Shimpan Daimyo, karena berasal tiga percabangan keluarga inti Tokugawa yang disebut Tokugawa Gosankei (Tiga keluarga terhormat Tokugawa) yang masing-masing dipimpin oleh putra Tokugawa Ieyasu:
• Tokugawa Yoshinao, penguasa han Owari generasi pertama
• Tokugawa Yorinobu, penguasa han Kishū generasi pertama
• Tokugawa Yorifusa, penguasa han Mito generasi pertama.
Lambang keluarga Tokugawa berupa Mitsuba Aoi (tiga helai daun Aoi) hanya boleh digunakan garis keturunan utama keluarga Tokugawa dan Tokugawa Gosankei. Putra-putra lain Tokugawa Ieyasu hanya diberi nama keluarga Matsuidara dan tidak mendapatkan nama keluarga Tokugawa.
Di awal zaman Edo, keshogunan Tokugawa sangat kuatir terhadap Tozama Daimyo yang dianggap memiliki kesetiaan yang tipis terhadap klan Tokugawa. Berbagai macam strategi dirancang agar Tozama Daimyo tidak memberontak. Sanak keluarga klan Tokugawa sering dikawinkan dengan Tozama Daimyo, walaupun sebenarnya tujuan akhir keshogunan Tokugawa adalah memberantas habis semua Tozama Daimyo. Keshogunan Tokugawa justru akhirnya berhasil ditumbangkan Tozama Daimyo dari Satsuma, Choshu, Tosa, dan Hizen.
Keshogunan Tokugawa memiliki sekitar 250 wilayah han yang jumlahnya turun naik sesuai keadaan politik. Peringkat wilayah han ditentukan pemerintah berdasarkan total penghasilan daerah dalam setahun berdasarkan unit koku. Penghasilan minimal yang ditetapkan shogun untuk seorang daimyo adalah 10.000 koku. Daimyo yang memegang wilayah makmur dan berpengaruh mempunyai penghasilan sekitar 1 juta koku.
Hubungan shogun dan kaisar
Keshogunan Tokugawa menjalankan pemerintah pusat dari Edo, sedangkan penguasa sah Jepang dipegang kaisar Jepang yang berkedudukan di Kyoto. Kebijakan pemerintahan dikeluarkan istana kaisar di Kyoto dan diteruskan kepada klan Tokugawa. Sistem ini berlangsung sampai kekuasaan pemerintah dikembalikan kepada kaisar di zaman Restorasi Meiji.
Keshogunan Tokugawa menugaskan perwakilan tetap di Kyoto yang disebut Kyōto Shoshidai untuk berhubungan dengan kaisar, keluarga kaisar dan kalangan bangsawan.
Perdagangan luar negeri
Kapal segel merah milik Jepang di tahun 1634
Pintu gerbang Sakurada di Istana Edo, pusat kekuasaan klan Tokugawa
Keshogunan Tokugawa mengeruk keuntungan besar dari monopoli perdagangan luar negeri dan hubungan internasional. Perdagangan dengan kapal asing dalam jumlah terbatas hanya diizinkan di Provinsi Satsuma dan daerah khusus Tsushima. Kapal-kapal Namban dari Portugal merupakan mitra dagang utama keshogunan Tokugawa yang diikuti jejaknya oleh kapal-kapal Belanda, Inggris dan Spanyol.
Jepang berperan aktif dalam perdagangan luar negeri sejak tahun 1600. Pada tahun 1615, misi dagang dan kedutaan besar di bawah pimpinan Hasekura Tsunenaga melintasi Samudra Pasifik ke Nueva Espana dengan menggunakan kapal perang Jepang bernama San Juan Bautista. Sampai dikeluarkannya kebijakan Sakoku di tahun 1635, shogun masih mengeluarkan izin bagi kapal-kapal Shuisen (Kapal Segel Merah) yang ingin berdagang dengan Asia. Setelah itu, perdagangan hanya diizinkan dengan kapal-kapal yang datang Tiongkok dan Belanda.
Lembaga pemerintahan
Rōjū dan Wakadoshiyori
Menteri senior (rōjū) diangkat dari anggota keshogunan yang paling senior dan bertugas sebagai pengawas ōmetsuke, machibugyō, ongokubugyō dan pejabat-pejabat tinggi lain. Tugas lain menteri senior adalah berhubungan dengan berbagai kalangan, seperti istana kaisar di Kyoto, kalangan bangsawan (kuge), daimyo, kuil Buddha dan Jinja, termasuk menghadiri berbagai macam rapat seperti rapat pembagian daerah. Keshogunan Tokugawa memiliki 4-5 menteri senior yang masing-masing bertugas sebulan penuh secara bergantian. Shogun meminta pertimbangan menteri senior jika ada persoalan penting yang harus diselesaikan. Pada perombakan birokrasi di tahun 1867, posisi menteri senior dihapus dan diganti dengan sistem kabinet, sehingga ada menteri dalam negeri, menteri keuangan, menteri luar negeri, menteri angkatan darat dan menteri angkatan laut.
Pada prinsipnya, Fudai Daimyo yang memiliki wilayah kekuasaan minimal 50.000 koku memenuhi persyaratan untuk ditunjuk sebagai menteri senior. Walaupun demikian, pejabat menteri senior sering berasal dari birokrat yang dekat dengan shogun, seperti pejabat soba yōnin, Kyoto shoshidai dan Osaka jōdai.
Shogun kadang kala menunjuk seorang menteri senior untuk mengisi posisi Tairō (tetua atau penasehat). Pejabat Tairō dibatasi hanya berasal dari klan Ii, Sakai, Doi dan Hotta, walaupun Yanagisawa Yoshiyasu pernah juga diangkat sebagai pengecualian. Ii Naosuke merupakan Tairō yang paling terkenal, tapi tewas dibunuh pada tahun 1860 di luar pintu gerbang Sakurada, Istana Edo.
Sebagai kelanjutan dari dewan rokuninshū (1633–1649) yang terdiri dari 6 anggota, keshogunan Tokugawa membentuk dewan wakadoshiyori yang berada persis di bawah posisi menteri senior (rōjū). Dewan wakadoshiyori terbentuk pada tahun 1662 dan terdiri dari 4 anggota. Tugas utama dewan wakadoshiyori adalah mengurusi hatamoto dan gokenin yang merupakan pengikut langsung shogun.
Sebagian shogun juga mengangkat pejabat soba yōnin yang bertugas sebagai perantara antara shogun dan rōjū. Posisi soba yōnin menjadi sangat penting di masa shogun Tokugawa ke-5 yang bernama Tokugawa Tsunayoshi akibat salah seorang pejabat wakadoshiyori bernama Inaba Masayasu membunuh pejabat tairō bernama Hotta Masatoshi. Shogun Tsunayoshi yang cemas akan keselamatan dirinya memindahkan kantor rōjū hingga jauh dari bangunan utama istana.
Ōmetsuke dan Metsuke
Pejabat yang melapor kepada rōjū and wakadoshiyori disebut ōmetsuke dan metsuke. Lima orang pejabat ōmetsuke diberi tugas memata-matai para daimyo, kalangan bangsawan (kuge) dan istana kaisar agar segala usaha pemberontakan bisa diketahui sejak dini.
Di awal zaman Edo, daimyo seperti Yagyū Munefuyu pernah ditunjuk sebagai pejabat ōmetsuke. Selanjutnya, jabatan ōmetsuke cuma diisi oleh hatamoto yang berpenghasilan minimal 5.000 koku. Shogun sering menaikkan penghasilan ōmetsuke menjadi 10.000 koku agar ōmetsuke bisa dihargai dan berkedudukan sejajar dengan daimyo yang sedang diawasi. Pejabat ōmetsuke juga menerima gelar kami, seperti Bizen-no-kami yang berarti penguasa provinsi Bizen.
Sejalan dengan perkembangan waktu, fungsi pejabat ōmetsuke berubah menjadi semacam kurir yang menyampaikan perintah dari keshogunan Tokugawa ke para daimyo. Pejabat ōmetsuke juga diserahi tugas melangsungkan upacara seremonial di lingkungan Istana Edo. Pengawasan kehidupan beragama dan pengendalian senjata api merupakan tanggung jawab tambahan pejabat ōmetsuke.
Pejabat metsuke melapor kepada wakadoshiyori dan bertugas sebagai polisi militer bagi shogun. Tugasnya mengawasi ribuan hatamoto and gokenin yang berpusat di Edo. Masing-masing wilayah han juga memiliki metsuke yang berfungsi sebagai polisi militer bagi para samurai.
San-bugyō
Pelaksanaan pemerintahan dilakukan oleh san-bugyō (tiga lembaga administrasi): jishabugyō, kanjōbugyō dan machibugyō. Pejabat jishabugyō berstatus paling elit karena para pejabat selalu berhubungan dengan kuil Buddha (ji) dan kuil Shinto (sha) dan diberi hak penguasaan atas tanah. Pejabat jishabugyō juga menerima pengaduan dari pemilik tanah di luar 8 provinsi Kanto. Pejabat jishabugyō ditunjuk dari kalangan daimyo, dengan Ōoka Tadasuke sebagai pengecualian.
Pejabat kanjōbugyō yang terdiri dari 4 orang melapor langsung kepada rōjū. Tugasnya sebagai auditor keuangan keshogunan Tokugawa.
Pejabat machibugyō merupakan pelaksana pemerintahan tingkat lokal. Tugasnya merangkap-rangkap sebagai walikota, kepala polisi, kepala pemadam kebakaran, dan hakim pengadilan pidana dan hukum perdata, tapi tidak bertanggung jawab terhadap samurai. Pejabat machibugyō yang terdiri dari 2 orang (pernah juga sampai 3 orang) biasanya diambil dari hatamoto, bertugas bergantian selama satu bulan penuh.
Tiga orang pejabat machibugyō menjadi terkenal berkat film samurai (jidaigeki), pejabat bernama Ōoka Tadasuke dan Tōyama Kinshirō (Tōyama no Kinsan) selalu digambarkan sebagai pahlawan, sedangkan Torii Yōzō sebagai penjahat.
Pejabat san-bugyō merupakan anggota dari dewan yang disebut Hyōjōsho. Anggota dewan hyōjōsho bertanggung jawab dalam soal administrasi tenryō, mengawasi gundai, daikan dan kura bugyō. Selain itu, anggota dewan hyōjōsho juga hadir sewaktu diadakan dengar pendapat sehubungan dengan kasus yang melibatkan samurai.
Tenryō, Gundai dan Daikan
Shogun juga menguasai secara langsung tanah di berbagai daerah di Jepang. Tanah milik shogun disebut Bakufu Chokkatsuchi yang sejak zaman Meiji disebut sebagai Tenryō. Shogun memiliki tanah yang sangat luas, mencakup daerah-daerah yang sudah sejak dulu merupakan wilayah kekuasaan Tokugawa Ieyasu, ditambah wilayah rampasan dari para daimyo yang kalah dalam Pertempuran Sekigahara, serta wilayah yang diperoleh dari pertempuran musim panas dan musim dingin di Osaka. Di akhir abad ke-17, seluruh wilayah kekuasaan Tokugawa bernilai 4 juta koku. Kota perdagangan seperti Nagasaki dan Osaka, berbagai lokasi pertambangan seperti tambang emas di Sado termasuk ke dalam wilayah kekuasaan langsung shogun.
Wilayah kekuasaan shogun tidak dipimpin oleh daimyo melainkan oleh pelaksana pemerintahan yang memegang jabatan gundai, daikan, dan ongoku bugyō. Kota-kota penting seperti Osaka, Kyoto and Sumpu dipimpin oleh machibugyō, sedangkan kota pelabuhan Nagasaki dipimpin oleh Nagasaki bugyō yang ditunjuk oleh shogun dari hatamoto yang sangat setia pada shogun.
Keshogunan Kamakura
Keshogunan Kamakura (鎌倉幕府 Kamakura bakufu?) adalah pemerintahan militer oleh samurai yang didirikan Minamoto no Yoritomo di Kamakura. Dalam periode historis Jepang, masa pemerintahan Keshogunan Kamakura disebut zaman Kamakura yang berlangsung sekitar 140 tahun. Keshogunan Kamakura berakhir setelah Nitta Yoshisada menghancurkan klan Hōjō.
Dulunya dalam buku sejarah Jepang ditulis bahwa Keshogunan Kamakura dimulai sejak tahun 1192 ketika Minamoto no Yoritomo diangkat sebagai Seii Taishōgun, namun secara de facto Yoritomo sudah berkuasa dan memiliki lembaga pemerintahan sebelum 1192. Keshogunan Kamakura juga bukan pemerintahan militer oleh kalangan samurai yang pertama di Jepang, karena sebelumnya sudah dikenal Pemerintahan klan Taira.
Pemerintahan atau kantor shogun disebut "bakufu" (幕府?, secara harafiah, pemerintahan di tenda) atau "Keshogunan". Sistem politik yang disebut keshogunan (bakufu) terus bertahan hingga Keshogunan Muromachi (Muromachi Bakufu) dan Keshogunan Edo (Edo Bakufu). Dalam literatur klasik Azuma Kagami, istilah bakufu hanya digunakan untuk rumah kediaman shogun, dan tidak digunakan untuk menyebut pemerintah pusat oleh kalangan militer. Istilah "bakufu" untuk menyebut pemerintahan kalangan samurai pertama kali digunakan sejarawan di zaman Edo. Kalangan samurai biasanya menyebut pemerintahan Kamakura sebagai Kamakura-dono (Yang Dipertuan Kamakura).
Masa pembentukan
Di akhir zaman Heian sebenarnya sudah ada Pemerintahan klan Taira di bawah pimpinan Taira no Kiyomori namun tidak disukai rakyat dan ditentang banyak pihak. Perlawanan terhadap klan Taira dimulai sejak Persekongkolan Shishigatani dan secara resmi dipimpin putra mantan Kaisar Go-Shirakawa, Pangeran Mochihito yang langsung tewas dibunuh. Peristiwa ini menyebabkan bangkitnya kekuatan perlawanan terhadap klan Taira di seluruh Jepang.
Minamoto no Yoritomo yang sedang diasingkan di Izu ikut mengangkat senjata, tapi ditaklukkan dalam Pertempuran Ishibashiyama. Dari tempat pelarian di Awa, Yoritomo memimpin perjalanan panjang melewati Provinsi Kazusa dan Provinsi Shimousa. Di tengah perjalanan, Yoritomo mendapat dukungan dari klan Taira Bandō yang merupakan percabangan klan Taira di wilayah Kanto. Setelah menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan, Yoritomo mendirikan markas di Kamakura yang dulunya pernah menjadi pusat kekuatan para pendahulu klan Minamoto. Lembaga pemerintahan seperti Samurai Dokoro didirikan untuk mempersatukan berbagai kelompok samurai di wilayah Kanto, sedangkan Yoritomo mendapat sebutan Kamakura-dono (Yang Dipertuan Kamakura). Setelah memenangkan Pertempuran Fujigawa dan mendapat dukungan kelompok samurai wilayah Kanto, Yoritomo memulai pemerintahan di wilayah Kanto.
Setelah klan Taira diusir dari Kyoto oleh Minamoto no Yoshinaka pada bulan Juli 1183, Yoshinaka dan pengikutnya mendukung Pangeran Hokuriku untuk naik tahta sebagai kaisar. Sementara itu, pasukan Yoshinaka bertindak kejam terhadap warga kota Kyoto. Perkembangan situasi membuat mantan Kaisar Go-Shirakawa mengundang Yoritomo untuk menguasai Kyoto. Sebagai jawaban, Yoritomo menuntut agar kepemilikan tanah sistem manorialisme di wilayah Tōkaidō, Tōsandō, dan Hokurikudō dikembalikan ke sistem lama yang disebut Kokushi. Sebagai penghormatan terhadap Yoshinaka, permintaan tersebut sedikit dilonggarkan dengan tidak memasukkan wilayah Hokurikudō yang dimiliki Yoshinaka. Permintaan tersebut disetujui dan secara de facto, Yoritomo menjadi penguasa wilayah sebelah timur Jepang.
Pada tahun 1184, Yoritomo mendirikan lembaga pemerintahan, seperti kantor administrasi bernama Kumonjo (kemudian berganti nama menjadi Mondokoro), dan kantor peradilan yang disebut Monchūjo. Sementara itu, Yoritomo mengutus adik-adiknya, Minamoto no Noriyori dan Minamoto no Yoshitsune untuk menghancurkan sisa-sisa klan Taira. Dalam Pertempuran Dan no Ura, klan Taira dihancurkan dan sekaligus mengakhiri perang saudara yang berlangsung selama 6 tahun.
Masih di tahun yang sama (1184), Yoritomo menerima mandat dari mantan Kaisar Go-Shirakawa untuk menyingkirkan Yoshitsune dan Minamoto no Yukiie dengan alasan telah melanggar aturan pemerintah Yoritomo. Dalam usaha menangkap Yoshitsune dan Yukiie, Yoritomo diberi mandat untuk memberhentikan serta mengangkat Jitō dan Shugo yang bertugas memungut pajak berupa beras untuk perbekalan militer dan sebagai pejabat di kantor pemerintah lokal. Berdasarkan mandat tersebut, Yoritomo berkuasa atas kekuatan militer serta kepolisian di seluruh negeri, dan sekaligus menandai berdirinya pemerintahan Keshogunan Kamakura yang menguasai seluruh Jepang. Walaupun demikian, pemerintah Yoritomo baru menguasai seluruh wilayah Jepang bagian timur setelah menghancurkan klan Ōshū Fujiwara dalam Pertempuran Ōshū 1189.
Pada tahun 1190, Yoritomo ditunjuk sebagai panglima tertinggi kekuatan militer (Ukone no Daishō) dan berbagai jabatan tinggi lainnya dalam pemerintahan, namun segera mengundurkan diri. Ambisi Yoritomo adalah diangkat menjadi Seii Taishōgun dan terlaksana setelah penentangnya, mantan Kaisar Go-Shirakawa wafat pada tahun 1192. Pengangkatan Yoritomo sebagai shogun juga sering digunakan untuk menandai berdirinya Keshogunan Kamakura.
Puncak kejayaan
Setelah Yoritomo meninggal secara mendadak di bulan Februari 1199, jabatan shogun diteruskan oleh putra pewarisnya yang bernama Minamoto no Yoriie. Sewaktu diangkat sebagai shogun, Yoriie masih berusia 18 tahun dan pihak keshogunan menganggapnya belum mampu mengendalikan pemerintahan. Sebagai wakil Yoriie, pemerintah dijalankan Dewan 13 Gokenin yang sebagian besar anggotanya berasal dari klan Hōjō yang merupakan kerabat Yoriie dari pihak ibu (Hōjō Masako). Pasangan bapak-anak Hōjō Tokimasa dan Hōjō Yoshitoki satu per satu menyingkirkan Gokenin yang berpengaruh, termasuk Kajiwara Kagetoki pada tahun 1200, dan Hiki Yoshikazu beserta anggota keluarganya pada tahun 1203.
Pada tahun 1203, Yoriie sakit keras dan kakek dari pihak ibu, Tokimasa mengirimnya ke Provinsi Izu dan dikenakan tahanan rumah. Setelah mengangkat adik Yoriie, Minamoto no Sanetomo sebagai shogun berikutnya dan penguasa Kamakura, Tokimasa membunuh Yoriie pada tahun 1204. Selanjutnya, Tokimasa diangkat sebagai pejabat Shikken yang bertugas sebagai pendamping shogun, dan pada praktiknya sebagai pemegang kendali kekuasaan. Di tahun berikutnya (1205), Tokimasa berusaha menjadikan menantunya, Hiraga Tomomasa sebagai shogun, sehingga musuh Tomomasa yang bernama Hatakeyama Shigetada dibunuh. Selanjutnya, Tokimasa berusaha menyingkirkan Sanetomo, namun tindakan ini ditentang oleh putra-putrinya sendiri, Hōjō Yoshitoki dan Hōjō Masako (ibu Sanetomo). Dengan dukungan Gokenin yang berpengaruh, Tokimasa dipaksa untuk mengundurkan diri dari dunia politik, sedangkan Hiraga Tomomasa dibunuh.
Hōjō Yoshitoki diangkat sebagai pejabat shikken berikutnya. Di masa jabatannya, kekuasaan klan Hōjō menjadi semakin kokoh, namun mendapat musuh baru, yakni Wada Yoshimori (kepala Samurai Dokoro) dan pengikutnya. Sesuai dengan rencana Yoshitoki, Wada Yoshimori beserta keluarganya dihabisi dalam Pertempuran Wada tahun 1213. Setelah itu, pemerintah Keshogunan Kamakura terus dirongrong pemberontakan, dan berpuncak pada terbunuhnya shogun ke-3 Minamoto no Sanetomo. Garis keturunan utama Minamoto no Yoritomo terputus dengan tewasnya Sanetomo. Pihak Keshogunan Kamakura meminta bantuan kaisar untuk menunjuk salah seorang pangeran sebagai shogun. Permintaan tersebut ditolak mantan kaisar Go-Toba, sehingga kerabat jauh Yoritomo dari keluarga Sekkan (aristokrat) yang masih kanak-kanak, Fujiwara no Yoritsune diangkat sebagai shogun baru. Yoritsune dan dua generasi shogun berikutnya disebut Sekke Shogun (shogun dari kalangan aristokrat), sedangkan pada praktiknya, pemerintahan tetap berada di tangan klan Hōjō.
Perang Jōkyū
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Jōkyū
Keshogunan Kamakura dianggap mantan Kaisar Go-Toba sebagai penghalang dalam menjalankan kekuasaan politiknya. Kekacauan di Kamakura yang mengikuti tewasnya shogun Sanetomo dianggap sebagai tanda keshogunan mulai melemah, dan merupakan kesempatan bagi Mantan Kaisar Go-Toba untuk menggulingkan Keshogunan Kamakura. Pada tahun 1221, mantan Kaisar Go-Toba mengeluarkan perintah untuk menyingkirkan Hōjō Yoshitoki. Di luar perkiraan mantan Kaisar Go-Toba, Keshogunan Kamakura memiliki basis pendukung yang kuat dari kalangan Gokenin. Dalam perang yang berlangsung sekitar singkat, Keshogunan Kamakura berhasil menghancurkan pasukan kekaisaran dalam waktu dua bulan.
Seusai perang, Keshogunan Kamakura memutuskan hukuman pengasingan bagi mantan Kaisar Go-Toba dan seluruh anggota keluarga, membantu Kaisar Chūkyō naik tahta, dan menjatuhkan hukuman mati bagi samurai dan bangsawan dari pihak istana yang mendukung mantan Kaisar Go-Toba. Rakyat terkejut dengan keputusan keshogunan untuk mengasingkan mantan kaisar, kaisar, dan sejumlah pejabat menteri. Pandangan rakyat berubah akibat keputusan yang diambil keshogunan, dan tidak lagi memandang kaisar berkedudukan lebih tinggi dari kalangan samurai. Selanjutnya, Keshogunan Kamakura mendirikan kantor Rokuhara Tandai di Kyoto untuk mengawasi gerak-gerik pihak istana kekaisaran.
Pemerintahan Shikken
Keshogunan Kamakura secara berturut-turut ditinggalkan para pendirinya. Hōjō Yoshitoki wafat tahun 1224, diikuti Hōjō Masako serta Ōe Hiromoto yang wafat tahun 1225. Jabatan shikken selanjutnya dijabat putra Yoshitoki yang bernama Hōjō Yasutoki. Agar pergantian kekuasaan shikken bebas kekacauan, Yasutoki menciptakan jabatan Rensho yang bertugas sebagai pendamping shikken. Kakek Yasutoki yang bernama Hōjō Tokifusa diangkat sebagai pejabat Rensho yang pertama. Selain itu, Yasutoki meletakkan dasar-dasar kepemimpinan kolektif dengan membentuk lembaga Hyōjōshū yang bertugas memberi pertimbangan atas keputusan politik pemerintah.
Kasus peradilan agraria yang semakin bertambah seusai Perang Jōkyū membuat Yasutoki merasa perlu menetapkan prosedur peradilan yang jelas. Prosedur peradilan ditetapkan Yasutoki menurut kitab hukum Goseibai Shikimoku yang mudah dimengerti dan diterapkan. Keshogunan Muromachi juga terus menggunakan kitab Goseibai Shikimoku sebagai dasar hukum. Berkat bakat kepemimpinan dan berbagai kebijakan politiknya, Yasutoki berhasil meletakkan dasar-dasar pemerintahan oleh pejabat shikken.
Yasutoki mewariskan jabatan shikken kepada cucunya, Hōjō Tokiyori yang sangat menaruh perhatian pada bidang hukum. Pada tahun 1249, Tokiyori mendirikan lembaga pengadilan tinggi yang disebut Hikitsuke untuk menciptakan proses peradilan yang lebih adil. Faksi yang dipimpin shogun sebelumnya, Minamoto no Yoritsune bersama Nagoshi no Mitsutoki diusir karena berencana menyingkirkan Tokiyori pada tahun 1246. Pejabat Gokenin yang berpengaruh, Miura Yasumura beserta keluarganya juga dibunuh pada tahun 1247. Shogun Fujiwara Yoritsugu disingkirkan pada tahun 1252 karena berkomplot melawan pemerintah keshogunan, dan sebagai penggantinya Pangeran Munetaka diangkat sebagai shogun baru.
Pangeran Munetaka merupakan shogun pertama dari kalangan pangeran (Miyashōgun) yang tidak turut serta dalam pemerintahan. Keberadaan shogun pangeran membuat klan Hōjō semakin berkuasa, dan kendali pemerintahan berpusat pada garis keturunan utama klan Hōjō. Setelah Tokiyori jatuh sakit, jabatan shikken diwariskan kepada Hōjō Nagatoki yang berasal dari percabangan klan Hōjō, tapi kendali pemerintahan tetap tidak terlepas dari klan Hōjō. Pada waktu itu, istilah Tokuso digunakan untuk menyebut garis keturunan utama klan Hōjō yang memimpin pemerintahan tirani selama 9 generasi.
GEOSENTRIS_GFI KHOLIDIN
Minggu, 24 April 2011
Senin, 14 Februari 2011
definisi/pengertian geografi terbaru 2011
definisi geografi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang terbentuknya muka bumi serta mempelajari apa-apa yang terdapat dibumi yang melalui proses," akibat dari proses alam semesta".
Pengertian lain mengenai geografi menurut kholidin mahasiswa PGRI
Geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang apa-apa yang terjadi dimuka bumi yang meliputi mahluk hidup dan benda mati yang melalui prose Bagaimana terbentuk hingga sampai berwujud suatu unsur senyawa lain baik yang bermanfaat bagi MAHLUK HIDUP daN juga yang merugikan BAGI mahluk hidup yang ada di muka bumi serta seisinya
Pengertian lain mengenai geografi menurut kholidin mahasiswa PGRI
Geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang apa-apa yang terjadi dimuka bumi yang meliputi mahluk hidup dan benda mati yang melalui prose Bagaimana terbentuk hingga sampai berwujud suatu unsur senyawa lain baik yang bermanfaat bagi MAHLUK HIDUP daN juga yang merugikan BAGI mahluk hidup yang ada di muka bumi serta seisinya
Jumat, 22 Oktober 2010
METODE PENELITIAN KUALITATIF
A.MACAM-MACAM METODE PENELITIAN KUALITATIF
Dalam penelitian kualitatif ada lima ciri utama yang dimilikinya, meskipun pada kenyataannya dalam penelitian kualitatif tidak memperlihatkan semua ciri tersebut. Adapun lima ciri tersebut:
1. penelitian kualitatif mempunyai setting alami sebagai sumber data langsung dan peneliti kebidanan adalah instrument utamanya
2. penelitia kualittatif bersifat diskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata , gambar bukan angka-angka.
3. penelitian kualitatif lebih menekankan proses kerja , yang seluruh fenomena yang dihadapi diterjemahkan dalam kegiatan sehari-hari, terutama yang berkaitan langsung dengan kebidanan
4. penelitian kualitatif cenderung menggunakan pendekatan induktif.
5. penelitian kualitatif memberi titik tekan pada makna, yaitu fokus penelaahan terpaut langsung dengan masalah kehidupan manusia.
Aplikasi metode kualitatif dalam penelitian ilmu-ilmu sosial dilakukan dengan langkah-langkah yaitu merumuska masalah sebagai fokus penelitia kebidanan, mengumpulkan data lapangan, menganalisis data, merumuskan hasil studi, dan menyuusun rekomendasi untuk perbaikan kinerja dalam bidang ini.
B. METODE-METODE PENELITAIAN KUALITATIF.
1. Penelitian Fenomenologi
Penelitian fenomenologi bersifat induktif . pendekatan yang dipakai adalah deskriptif yang dikembangkan dari filsafat fenomenologi. Fokus filsafat fenomenologi adalah pemahaman tentang respon atas kehadiran atau kebaradaan manusia, bukan sekedar pemahaman atas bagian-bagian yang spesifik atau prilaku khusus. Tujuan penelitian fenomenologikal adalah menjelaskan pengalama-pengalaman apa yang dialami seseorang dalam kehidupan ini, termasuk interaksinya dengan orang lain.Contoh penelitian fenomenologi atau study mengenai daur hidup masyarakat tradisional dilihat dari perspektif kebiasaan hidup sehat.
2. Penelitian Teori Grounded
penelitian grounded adalah tehnik penelitian induktif. Tekhnik ini pertama kali digagas oleh Strauss dan sayles pada tahun 1967.Pendekatan penelitian ini bermaslahat dalam menemukan problem-problem yang muncul dalam situasi kebidanan dan aplikasi proses-proses pribadi untuk menanganinya.Metodologi teori ini menekankan observasi dan mengembangkan basis praktik hubungan ”intuitif” antara variabel.Proses penelitian ini melibatkan formulasi,pengujian,dan pengembangan ulang proposisi selama penyusunan teori
3. Penelitian Etnograf
Penelitian tipe ini berusaha memaparkan kisah kehidupan keseharian orang-orang yang dalam kerangka menjelaskan fenomena budaya itu, mereka menjadi bagian integral lainnya. Pada penelitian ini pengumpulan data dilakukan secara sistematis dan deskriptif. Analisis data dilakukan untuk mengembangkan teori prilaku kultural.Dalam penelitian etnografi, peneliti secara aktuyal hidup atau menjadi bagian dari seting budaya dalam tatanan untuk mengumpulkan data secara sistematis dan holistik. Melalui penelitian ini perbedaan-perbedaan budaya dijelaskan, dibandingkan untuk menambah pemahaman atas dampak budaya pada perilaku atau kesehatan manusia.
4. Penelitian Historis
Penelitian historis adalah penelitian yang dimaksudkan untuk merekonstruksi kondisi masa lampau secara objktif, sistematis dan akurat. Melalui penelitian ini, bukti-bukti dikumpulkan , dievaluasi, dianalisis dan disintesiskan. Selanjutnya, berdasarkan bukti-bukti itu dirumuskan kesimpulan. Adakalanya penelitian historis digunakan untuk menguji hipotesis tertentu.Misalnya,hipotesis mengenai dugaan adanya kesamaan antara sejarah perkembangan pendidikan dari satu negara yang mengalami hegemoni oleh penjajah yang sama.
Penelitian historis biasanya memperoleh data melalui catatan catatan artifak, atau laporan-laporan verbal. Ada beberapa ciri dominan penelitian historis
• Adakalanya lebih bergantung pada data hasil observasi orang lain daripada hasil observasinya sendiri.
• Data penelitian diperoleh melalui observasi yang cermat, dimana data yang ada harus objektif,otentik, dan diperoleh dari sumber yang tepat pula.
• Data yang diperoleh bersifat sistematis menurut urutan peristiwa dan bersifat tuntas.
5. Penelitian Kasus
Penelitian kasus atau penelitian lapangan dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan dan posisi saat ini serta interaksi linkungan unit sosial tertentu yang bersifat apa adanya (given).Subjek penelitian dapat berupa individu,kelompok, institusi atau masyarakat.Penelitin kasus merupkan penelitian mendalam mengenai unit sosial tertentu, yang hasil penelitian itu memberi gambaran luas dan mendalam mengenai unit sosial tertentu.Subjek yang diteliti relatif terbatas, tetapi variabel-variabel dan fokus yang diteliti sangat luas dimensinya. Contoh, studi lapangan yang tuntas dan mendalam mengenai kegiatan yan paling banyak dilakukan oleh tenaga pekerja sosial selama menjalankan tugas di camp pengungsi.
6. Inquiry Filosofi
Inkuiri filisofis melibatkan penggunaan mekanisme analisis intelektual untuk memperjelas makna,membuat nilai-nilai menjadi nyata,mengindentifikasi etika, dan studi tentang hakikat pengetahuan. Peneliti filosofis mempertimbangkan ide atau isu-isu dari semua persfektif dengan eksplorasi ekstensif atas literatur,menguji atau menelaah secara mendalam makna konseptual,mermuskan pertanyaan,mengajukan jawaban, dan menyarankan implikasi atas jawaban-jawaban itu.Peneliti dipandu oleh pertanyaan- pertanyaan itu.Ada tiga ilkuiri filosofis, yaitu:
1. Foundational Inquiry
2. Philoshopical Analyses
3. Ethical Analyses
Studi fondasional mellibatkan analisis tentang struktur ilmu dan proses berfikir tentang penilaian atas fenomena tertentu tang dianut bersama oleh ”anggota” disiplin ilmiah.
Tujuan analisis filosofis adalah menguji makna dan mengembangkan teori yang diperoleh melalui analisis konsep atau analisis linguistik.inkuiri etikal melibatkan analisa intelektualatas masalah etik dikaitkan dengan andil, hak,tugas,benar dan salah, kesadran dan tanggungjawab.
7. Teori kritik sosial
Teori kritik sosial adalah filosofi lain dari sebuah metodologi kualitatif yang unik.Dipandu oleh filsafat dari teori kritik sosial,peneliti menemukan pemahaman menganai cara seseoarang berkomunikasi dan bagaimana ia mengembangkan makna makna simbolis di masyarakat.Banyak pemahaman muncul dalam sebuah dunia yang fakta kemasyarakatan tertentu diterima apa adanya,tidak didiskusikan atau diposisikan secara dogmatik.Tatana politik yang mapan itu dipersepsi sebagai tertutup bagi perubahan dan tidak patut dipertanyakan.Tatana politik semacam ini biasanya muncul pada masyarakat dibawah pemerintahan yang otoriter.
Dalam penelitian kualitatif ada lima ciri utama yang dimilikinya, meskipun pada kenyataannya dalam penelitian kualitatif tidak memperlihatkan semua ciri tersebut. Adapun lima ciri tersebut:
1. penelitian kualitatif mempunyai setting alami sebagai sumber data langsung dan peneliti kebidanan adalah instrument utamanya
2. penelitia kualittatif bersifat diskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata , gambar bukan angka-angka.
3. penelitian kualitatif lebih menekankan proses kerja , yang seluruh fenomena yang dihadapi diterjemahkan dalam kegiatan sehari-hari, terutama yang berkaitan langsung dengan kebidanan
4. penelitian kualitatif cenderung menggunakan pendekatan induktif.
5. penelitian kualitatif memberi titik tekan pada makna, yaitu fokus penelaahan terpaut langsung dengan masalah kehidupan manusia.
Aplikasi metode kualitatif dalam penelitian ilmu-ilmu sosial dilakukan dengan langkah-langkah yaitu merumuska masalah sebagai fokus penelitia kebidanan, mengumpulkan data lapangan, menganalisis data, merumuskan hasil studi, dan menyuusun rekomendasi untuk perbaikan kinerja dalam bidang ini.
B. METODE-METODE PENELITAIAN KUALITATIF.
1. Penelitian Fenomenologi
Penelitian fenomenologi bersifat induktif . pendekatan yang dipakai adalah deskriptif yang dikembangkan dari filsafat fenomenologi. Fokus filsafat fenomenologi adalah pemahaman tentang respon atas kehadiran atau kebaradaan manusia, bukan sekedar pemahaman atas bagian-bagian yang spesifik atau prilaku khusus. Tujuan penelitian fenomenologikal adalah menjelaskan pengalama-pengalaman apa yang dialami seseorang dalam kehidupan ini, termasuk interaksinya dengan orang lain.Contoh penelitian fenomenologi atau study mengenai daur hidup masyarakat tradisional dilihat dari perspektif kebiasaan hidup sehat.
2. Penelitian Teori Grounded
penelitian grounded adalah tehnik penelitian induktif. Tekhnik ini pertama kali digagas oleh Strauss dan sayles pada tahun 1967.Pendekatan penelitian ini bermaslahat dalam menemukan problem-problem yang muncul dalam situasi kebidanan dan aplikasi proses-proses pribadi untuk menanganinya.Metodologi teori ini menekankan observasi dan mengembangkan basis praktik hubungan ”intuitif” antara variabel.Proses penelitian ini melibatkan formulasi,pengujian,dan pengembangan ulang proposisi selama penyusunan teori
3. Penelitian Etnograf
Penelitian tipe ini berusaha memaparkan kisah kehidupan keseharian orang-orang yang dalam kerangka menjelaskan fenomena budaya itu, mereka menjadi bagian integral lainnya. Pada penelitian ini pengumpulan data dilakukan secara sistematis dan deskriptif. Analisis data dilakukan untuk mengembangkan teori prilaku kultural.Dalam penelitian etnografi, peneliti secara aktuyal hidup atau menjadi bagian dari seting budaya dalam tatanan untuk mengumpulkan data secara sistematis dan holistik. Melalui penelitian ini perbedaan-perbedaan budaya dijelaskan, dibandingkan untuk menambah pemahaman atas dampak budaya pada perilaku atau kesehatan manusia.
4. Penelitian Historis
Penelitian historis adalah penelitian yang dimaksudkan untuk merekonstruksi kondisi masa lampau secara objktif, sistematis dan akurat. Melalui penelitian ini, bukti-bukti dikumpulkan , dievaluasi, dianalisis dan disintesiskan. Selanjutnya, berdasarkan bukti-bukti itu dirumuskan kesimpulan. Adakalanya penelitian historis digunakan untuk menguji hipotesis tertentu.Misalnya,hipotesis mengenai dugaan adanya kesamaan antara sejarah perkembangan pendidikan dari satu negara yang mengalami hegemoni oleh penjajah yang sama.
Penelitian historis biasanya memperoleh data melalui catatan catatan artifak, atau laporan-laporan verbal. Ada beberapa ciri dominan penelitian historis
• Adakalanya lebih bergantung pada data hasil observasi orang lain daripada hasil observasinya sendiri.
• Data penelitian diperoleh melalui observasi yang cermat, dimana data yang ada harus objektif,otentik, dan diperoleh dari sumber yang tepat pula.
• Data yang diperoleh bersifat sistematis menurut urutan peristiwa dan bersifat tuntas.
5. Penelitian Kasus
Penelitian kasus atau penelitian lapangan dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan dan posisi saat ini serta interaksi linkungan unit sosial tertentu yang bersifat apa adanya (given).Subjek penelitian dapat berupa individu,kelompok, institusi atau masyarakat.Penelitin kasus merupkan penelitian mendalam mengenai unit sosial tertentu, yang hasil penelitian itu memberi gambaran luas dan mendalam mengenai unit sosial tertentu.Subjek yang diteliti relatif terbatas, tetapi variabel-variabel dan fokus yang diteliti sangat luas dimensinya. Contoh, studi lapangan yang tuntas dan mendalam mengenai kegiatan yan paling banyak dilakukan oleh tenaga pekerja sosial selama menjalankan tugas di camp pengungsi.
6. Inquiry Filosofi
Inkuiri filisofis melibatkan penggunaan mekanisme analisis intelektual untuk memperjelas makna,membuat nilai-nilai menjadi nyata,mengindentifikasi etika, dan studi tentang hakikat pengetahuan. Peneliti filosofis mempertimbangkan ide atau isu-isu dari semua persfektif dengan eksplorasi ekstensif atas literatur,menguji atau menelaah secara mendalam makna konseptual,mermuskan pertanyaan,mengajukan jawaban, dan menyarankan implikasi atas jawaban-jawaban itu.Peneliti dipandu oleh pertanyaan- pertanyaan itu.Ada tiga ilkuiri filosofis, yaitu:
1. Foundational Inquiry
2. Philoshopical Analyses
3. Ethical Analyses
Studi fondasional mellibatkan analisis tentang struktur ilmu dan proses berfikir tentang penilaian atas fenomena tertentu tang dianut bersama oleh ”anggota” disiplin ilmiah.
Tujuan analisis filosofis adalah menguji makna dan mengembangkan teori yang diperoleh melalui analisis konsep atau analisis linguistik.inkuiri etikal melibatkan analisa intelektualatas masalah etik dikaitkan dengan andil, hak,tugas,benar dan salah, kesadran dan tanggungjawab.
7. Teori kritik sosial
Teori kritik sosial adalah filosofi lain dari sebuah metodologi kualitatif yang unik.Dipandu oleh filsafat dari teori kritik sosial,peneliti menemukan pemahaman menganai cara seseoarang berkomunikasi dan bagaimana ia mengembangkan makna makna simbolis di masyarakat.Banyak pemahaman muncul dalam sebuah dunia yang fakta kemasyarakatan tertentu diterima apa adanya,tidak didiskusikan atau diposisikan secara dogmatik.Tatana politik yang mapan itu dipersepsi sebagai tertutup bagi perubahan dan tidak patut dipertanyakan.Tatana politik semacam ini biasanya muncul pada masyarakat dibawah pemerintahan yang otoriter.
Rabu, 20 Oktober 2010
ispirks
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sekolah merupakan tempat berlangsungnya proses belajar mengajar secara formal. Proses belajar mengajar adalah suatu kegiatan pelaksanaan kurikulum suatu lembaga pendidikan agar dapat mempengaruhi siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam mencapai tujuan tersebut, sekolah harus benar-benar memperhatikan beberapa aspek baik yang bersifat fisik maupun non fisik yang merupakan penunjang dalam mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh dan bertanggung jawab.
Proses pembelajaran merupakan suatu rangkaian di dalam kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan yang paling pokok dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah. Ini berarti bahwa berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan yang telah digariskan sangat bergantung pada bagaimana proses pembelajaran tersebut dirancang, serta bagaimana pula kesiapan sebagai peserta didik dalam menerima dan melaksanakan proses pembelajaran.
Dalam meningkatkan mutu pendidikan salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan penyempurnaan kurikulum. Pemerintah melakukan perubahan kurikulum, seperti kurikulum 1994 diimiplementasikan pemerintah karena dipandang perlu dilakukan berbagai perkembangan dan perubahan. Sejak tahun 2001 Depdiknas melakukan serangkaian kegiatan untuk menyempurnakan kurikulum 1994, sehingga berubah menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dimana drafnya berlaku pada tahun ajaran 2004/2005. Namun, lahirnya undang-undang No.2 Tahun ajaran 2003 dan peraturan pemerintah No.19 Kurikulum ini disesuaikan kembali mulai tahun 2006/ 2007, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) berubah menjadi kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Mulyasa, 2008: 8).
Belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif yang mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dan anak didik. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan, diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan. Guru dengan sadar merancang kegiatan pengajaran secara sistematis dengan memanfaatkan segala sesuatunya guna kepentingan pengajaran. Harapan yang tidak pernah sirna dan selalu guru tuntut adalah bagaimana bahan pelajaran yang disaimpaikan guru dapat dikuasai oleh anak didik secara tuntas. lni merupakan masalah yang cukup sulit yang dirasakan oleh guru. Kesulitan ini dikarenakan anak didik bukan hanya sebagai individu dengan segala keunikannya, tetapi mereka juga sebagai makhluk sosial dengan latar belakang yang berlainan.
Guru sebagai komponen yang penting dari tenaga kependidikan, mempunyai tugas yang penting untuk melaksanakan pembelajaran. Dalam pelaksanaan pembelajaran guru akan menemukan berbagai masalah baik itu berasal dari siswa, sekolah, lingkungan sekitar maupun berasal dari cara guru itu sendiri dalam mengolah pembelajaran. Dari semua permasalahan tersebut, salah satu upaya untuk mengatasinya yaitu dengan menggunakan strategi pembelajaran yang tepat dan para guru paham tentang setrategi pembelajaran serta tahu cara menerapkannya pada peserta didik.
Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu ganis-ganis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan. ( Djamarah dan Zain, 2006:5 ). Dari pengertian tersebut penulis dapat mengartikan strategi adalah pedoman dalam menentukan cara menggunakan sumber daya yang ada untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan.
Banyak sekali strategi pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran salah satunya adalah strategi belajar tuntas. Adapun pengertian strategi belajar tuntas adalah suatu filsafat yang mengatakan bahwa dengan sistem pengajaran yang tepat semua siswa dapat belajar dengan hasil yang baik dari hampir seluruh materi pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Disisi lain juga dikatakan strategi belajar tuntas merupakan proses belajar mengajar yang bertujuan agar bahan ajaran dikuasai secara tuntas, artinya dikuasai sepenuhnya oleh siswa (http:/aenul.wordpress.com/2008/05/08/un dan-konsep-belajar-tuntas/). Belajar tuntas disini dapat diartikan dengan sistem pengajaran yang tepat semua siswa dapat belajar dengan hasil yang baik dari hampir seluruh materi pelajaran yang diajarkan di sekolah.
SMP Negeri 30 Palembang merupakan sekolah negeri yang sistem pembelajarannya masih konvensional, dimana penerapan strategi pembelajarannya sangat bervariasi yaitu Eksperimen, demontrasi, ceramah, tanya jawab dan penugasan.
Namun dalam penyampaiannya, guru mata pelajaran sering kali menggunakan strategi pembelajaran yang itu-itu saja sehingga terlihat monoton dan siswa kadang-kadang mulai terlihat bosan walaupun pada dasarnya semua siswa tersebut sudah cukup mengerti dengan apa yang disampaikan guru mereka. Kejenuhan akan strategi yang monoton atau itu-itu saja membuat siswa menjadi malas untuk belajar. Oleh karena itu, peneliti mencoba untuk melakukan eksperimen pada proses pembelajaran dengan mengunakan konsep belajar tuntas, dimana hal ini diharapkan dapat menambah motivasi dan meningkatkan hasil belajar siswa.
Untuk mengetahui apakah konsep belajar tuntas dapat diterapkan secara efektif atau tidak dalam meningkatkan hasil belajar IPA Fisika dan ada tidaknya pengaruh konsep belajar tuntas terhadap hasil belajar IPA Fisika, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Penerapan Pendekatan Kelompok (Group Based Approach) Menggunakan Konsep Belajar tuntas (Mastery learning) Pada Mata Pelajaran IPA Fisika Di SMP Negeri 30 Palembang”.
2. Masalah Dan Pembatasan Masalah
2.1 Masalah
Sugiyono ( 2008:52 ) mengemukakan, masalah adalah “penyimpangan antara yang seharusnya dengan apa-apa yang benar-benar terjadi, antara teori dengan praktek, antara aturan dengan pelaksanaan, antara pelaksanaan dengan pelaksana”. Selain itu juga (stoner dalam sugiono, 2005:52 ) mengatakan bahwa masalah-masalah dapat diketahui atau dicari apabila terdapat penyimpangan antara pengalaman dengan kenyataan, adanya pengaduan, dan kompetensi.
Berdasarkan latar definisi tersebut, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah penerapan pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas pada mata pelajaran IPA Fisika siswa kelas VII SMP Negeri 30 Pelembang?”.
2.2 Pembatasan Masalah
Untuk menghindari konsepsi dan penafsiran yang berbeda dari pembaca, maka dari judul peneliti ini penulis memberikan batasan-batassan sebagai berikut:
1. penerapan yang dimaksud dalam peneliti ini adalah melaksanakan pendekatan
kelompok dengan mengunakan konsep belajar tuntas terhadap hasil belajar siswa.
2. konsep belajar tuntas merupakan proses belajar mengajar yang bertujuan agar bahan ajaran dikuasai secara tuntas, artinya dikuasai sepenuhnya oleh siswa dengan bimbingan seorang guru.
3. pembelajaran merupakan suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur mencapai tujuan pembelajaran.
4. hasil belajar disini yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil tes yang diberikan kepada siswa setelah pokok bahasan selesai diajarkan.
5. pokok bahasan yang diteliti adalah Pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan
6. siswa yang diteliti adalah siswa kelas VII.4 SMP Negeri 30 Palembang tahun pelajaran 2009/2010.
3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. untuk mengetahui hasil belajar IPA Fisika siswa kelas VII.4 SMP Negeri 30 Palembang setelah dilakukan penerapan pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas, dan untuk mengetahui apakah ketuntasan belajar dapat tercapai ?
2. untuk mengetahui peningkatan motivasi belajar siswa dengan menerapkan pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas pada materi Pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan di SMP Negeri 30 Palembang
4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain dapat:
1. Bagi peneliti
Dapat menambah pengetahuan peneliti selama meneliti di lapangan. Selain itu juga dapat mengetahui sejauh mana penerapan pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas terhadap hasil belajar.
2. Bagi guru
Menjadi sumbangan pikiran untuk Guru SMP Negeri 30 Palembang, khususnya guru mata pelajara Fisika, tentang konsep belajar tuntas.
3. Bagi siswa
Diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar mereka, Khususnya pada mata pelajaran IPA Fisika.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pendekatan Pembelajaran
Langkah memilih pendekatan ini sebenarnya bisa lebih tepat ditempatkan setelah peneliti menentukan dengan tegas variabel peneliti. Dalam hal ini peneliti berpendapat bahwa antara penentuan variabel penelitian dan memilih pendekatan sebenarnya dilakukan maju mundur, bolak-blik. Variabel peneliti memang sangat menentukan bentuk atau jenis pendekatan. Namun, jelas pendekatan juga tidak dapat diabaikan peranannya dalam menentukan perincian variabel secara teliti. Oleh karena itu, hanya karena alasan bahwa dua hal tersebut tidak dapat dibicarakan sekaligus, dan yang satu harus yang lain, maka pembicaraan masalah pendekatan ini harus didahulukan. Dalam mengajar guru harus pandai menggunakan pendekatan secara arif dan bijaksana, bukan sembarangan yang bisa merugikan anak didik.
Pandangan guru terhadap anak didik akan menentukan sikap dan perbuatan. Setiap guru tidak selalu mempunyai pandangan yang sama dalam menilai anak didik. Hal ini akan mempengaruhi pendekatan yang guru ambil dalam pelajaran. (Djamarah dan Zain, 2006:54) Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran diantaranya adalah:
1. Pendekatan Individu
2. Pendekatan Kelompok
3. Pendekatan Bervariasi
4. Pendekatan Edukatif
5. Pendekatan Keagamaan
6. Pendekatan Kebermaknaan
2.1.1 Pendekatan Individu
Perbedaan individual anak didik yang berbeda-beda memberikan wawasan kepada guru bahwa strategi pengajaran harus memperhatikan perbedaan anak didik pada aspek individu. Dengan kata lain, guru harus melakukan pendekatan individual dalam strategi belajar mengajar. Bila tidak maka konsep belajar tuntas atau mastery learning yang menuntut penguasaan penuh kepada anak didik tidak pernah menjadi kenyataan. Paling tidak dengan pendekatan individual dapat diharapkan kepada anak didik dengan penguasaan optimal.
Pendekatan individual mempunyai arti yang sangat penting dalam pengajaran. Disini dapat dicontohkan dalam suatu pengelolaan kelas dan memilih metode pembelajaran tidak boleh begitu saja tetapi harus memperhatikan pendekatan individu. Dalam memilih metode itu, guru harus tahu dengan anak didiknya yaitu harus melakukan pendekatan dengan anak didiknya sehinga nantinya proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan mencapai ketuntasan belajar. Persoalan kesulitan belajar anak lebih mudah dipecahkan dengan mengunakan pendekatan individu, walaupun nantinya pendekatan kelompok diperlukan.
2.1.2 Pendekatan Kelompok
Pendekatan kelompok merupakan suatu pendekatan yang sangat diperlukaan dalam kegiatan belajar mengajar. Pendekatan kelompok sangat diperlukan dalam membina dan mengembangkan sikap sosial anak didik. Hal ini disadari bahwa anak didik adalah sejenis makhluk homo socius, yakni makhluk yang berkecenderungan untuk hidup bersama.
Dengan pendekatan kelompok, diharapkan dapat ditumbuh kembangkan rasa sosial yang tinggi dari diri setiap anak didik. Mereka dibina agar tidak ada sikap egois pada diri mereka masing-masing, sehingga dibina sikap kesetia kawanan sosial di kelas. Tidak ada makhluk hidup yang berdiri sendiri secara terus-menerus tanpa bantuan makhluk lain. Anak didik dibiasakan hidup bersama, bekerja sama dalam kelompok, akan menyadari bahwa dirinya ada kekurangan dan kelebihan. Yang mempunyai kelebihan dengan ikhlas mau membantu mereka yang mempunyai kekurangan. Sebaliknya mereka yang mempunyai kekurangan dengan rela hati mau belajar dari mereka yang mempunyai kelebihan, tanpa minder. Persaingan pun diharapkan terjadi di kelas dalam rangka mencapai prestasi belajar yang optimal. Inilah yang diharapkan anak didik yang aktif, kreatif dan mandiri. Ketika guru mengunakan pendekatan kelompok, maka guru harus sudah mempertimbangkan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan tujuan, fasilitas belajar pendukung, metode yang akan dipakai sudah dikuasai, dan bahan yang akan diberikan kepada anak didik memang cocok didekati dengan pendekatan kelompok. Karena itu, pendekatan kelompok tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi harus mempertimbangkan hal-hal yang ikut mempengaruhi pengunaannya.
Dalam pengelolaan kelas, terutama yang berkenaan dengan penempatan anak didik, pendekatan kelompok sangat diperlukan. Perbedaan individual pada aspek biologis, intelektual, dan psikologis dijadikan sebagai landasan dalam melakukan pendekatan kelompok. Beberapa pengarang mengatakan, keakraban atau kesatuan kelompok ditentukan oleh tarikan-tarikan interpersonal, atau saling menyukai satu sama lain. Yang mepunyai kecenderungan menamakan keakraban sebagai tarikan kelompok merupakan satu-satunya faktor yang menyebabkan kelompok bersatu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan kelompok merupakan pendekatan yang sangat penting dalam kegiatan belajar-mengajar. Dengan pendekatan kelompok ini kita dapat membina sikap anak didik agar mempunyai jiwa sosial yang tinggi, karena anak didik disini merupakan makhluk homo socius yang berkecenderungan hidup bersama. Dalam hal ini diperlukan suatu kerjasama. Salah satunya adalah membentuk kelompok. Kelompok disini harus benar-benar memperlihatkan keakaraban, kerjasama yang kuat demi mencapai suatu keberhasilan dalam kegiatan belajar-mengajar.
2.1.3 Pendekatan Bervariasi
Pendekatan bervariasi bertolak dari konsepsi bahwa permasalahan yang dihadapi oleh setiap anak didik dalam belajar bermacam-macam. Setiap masalah yang dihadapi anak didik tidak selalu sama, terkadang ada perbedaan, maka secara tidak langsung dalam kegiatan belajar mengajar guru akan dihadapkan dengan permasalahan anak didik yang bervariasi. Dalam mengajar, guru yang hanya menggunakan satu metode biasanya sukar menciptakan suasana kelas yang kondusif dalam waktu relatif lama. Bila terjadi perubahan suasana kelas yang kondusif dalam waktu relatif lama. Ini sebagai tanda adanya gangguan dalam proses belajar mengajar. Akibatnya, jalannya pelajaran kurang menjadi efektif. Efisien dan efektivitas pencapaian tujuan pun jadi terganggu, disebabkan anak didik kurang mampu berkonsenterasi. Permasalahan yang dihadapi oleh setiap anak didik biasanya bervariasi, maka pendekatan yang digunakan pun akan lebih tepat dengan pendekatan bervariasi.
2.1.4. Pendekatan Edukatif
Pendekatan edukatif merupakan pendekatan yang benar bagi guru untuk mendidik anak didik. Setiap tindakan, sikap, dan perbuatan yang guru lakukan harus bernilai norma susila, norma moral, norma sosial, dan norma agama. dengan demikian, semua pendekatan yang dilakukan guru harus bernilai edukatif, dengan tujuan mendidik. Tindakan guru karena dendam, marah, kesal, benci, dan sejenisnya bukanlah termasuk perbuatan mendidik, karena apa yang guru lakukan itu menurut kata hati atau untuk memuaskan hati.
2.1.5 Pendekatan Keagamaan
Pendekatan agama adalah pendekatan yang sangat penting digunakan dalam kegiatan belajar-mengajar khususnya untuk mata pelajaran umum. Hal ini dimaksud agar nilai budaya ilmu itu tidak sekuler, tetapi menyatu dengan nilai agama. Pendekatan agama dalam pembelajaran diharapkan dapat membantu guru dalam memperkecil kerdilnya jiwa agama di dalam diri siswa, yang pada akhimya nilai-nilai agama tidak dicemooh dan dilecehkan, tetapi diyakini, dipahami, dihayati, dan diamalkan selama hayat siswa dikandung badan.
2.1.6 Pendekatan Kebermaknaan
Pendekatan kebermaknaan merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengungkapkan suatu makna. Bahasa merupakan alat untuk mengungkapkan makna yang diwujudkan melalui struktur (tata bahasa dan kosakata) dengan demikian, struktur berperan sebagai alat pengungkap makna (gagasan, pikiran, pendapat, dan perasaan) pendekatan kebermaknaan ditentukan oleh lingkup situasi yang merupakan konsep dasar dalam pendekatan kebermaknaan pengajaran bahasa yang natural. Makna dapat diwujudkan melalui kalimat yang berbeda, baik secara lisan maupun tertulis. Suatu kalimat dapat mempunyai makna yang berbeda tergantung pada situasi saat kalimat itu di gunakan.
2.2 Sistem Pembelajaran
Istilah sistem adalah suatu konsep yang abstrak, Definisi tradisional menyatakan sistem adalah seperangkat komponen atau unsur yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan. Rumusan itu sangatlah sulit dipahami. Dalam arti yang luas, suatu sistem yang muncul karena seseorang yang telah mendefinisikan demikian, Suatu sistem dapat pula menjadi suatu sistem yang lebih komplek. Itu berarti adanya suatu sistem karena itu mempertimbangkan sebagai sistem, begitu pula halnya dengan sistem pengajaran.
Hamalik menyebutkan pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran ( Hamalik, 2009:57 ). Ada beberapa komponen yang harus dipenuhi dalam sistem pengajaran, dapat disebutkan lima komponen utama yaitu : tujuan, bahan , alat, metode dan penilaian. Kelima komponen ini tidak dapat berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya.
Dengan demikian, dengan adanya penggabungan antara komponen-komponen pengajaran oleh guru diharapkan tumbuhnya kegiatan belajar yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dapat dicapai dengan seefektif mungkin sehinga pembelajaran pun dapat mengalami ketuntasan dalam belajar.
2.3 Konsep Belajar Tuntas
Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman ( Hamalik, 2009:36 ) menurut pengertian ini, belajar adalah suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari pada itu, yakni mengalami. Selain itu juga belajar dapat diartikan suatu poroses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi melalui lingkungan.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses atau kegiatan yang dilakukan suatu individu untuk mencari dan mengungkap apa yang belum tahu sehigga menjadi tahu.
Konsep belajar tuntas adalah suatu filsafat yang mengatakan bahwa dengan sistem pengajaran yang tepat semua siswa dapat belajar dengan hasil yang baik dari hampir seluruh materi pelajaran yang diajarkan di sekolah ( Subroto, 2009:81 ). Pandangan ini jelas menolak pandangan yang mengatakan bahwa tingkat keberhasilan siswa di sekolah sangat ditentukan oleh tingkat kecerdasan bawaannya atau IQ-nya. Belajar tuntas ini sebenarnya sudah ada sejak enam puluh tahun yang lalu tatkala ( Burn dan Mirnision dalam subroto, 2009:81 ) mengembangkan suatu sistem pengajaran sehingga semua siswa diharapkan dapat menguasai sejumlah tujuan pendidikan.
Bahan pelajaran yang digunakan sebagai wahana untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut dibagi atas unit-unit. Setiap unit terdiri dari bahan-bahan pelajaran yang diurutkan secara singkat sistematik yang mudah ke bahan yang sukar. Setiap siswa diharuskan menguasai satu unit pelajaran sebelum diperbolehkan untuk mempelajari unit pelajaran berikutnya. Bagi siswa yang gagal menguasai satu unit pelajaran tertentu harus diberikan unit pelajaran perbaikan. Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa belajar tuntas merupakan suatu pandangan yang mengatakan dengan sistem pengajaran yang baik, tepat dan sesuai dengan kondisi siswa maka semua materi pelajaran yang sudah diberikan dapat dikuasai siswa dengan baik.
Ada 4 cara yang digunakan dalam perbaikan pada konsep belajar tuntas (Morrision dalam Subroto, 2009: 81) yaitu:
1. mengulang kembali mengajar bahan pelajaran.
2. menuturkan siswa.
3. menyusun kembali aktivitas belajar siswa.
4. mengadakan perbaikan terhadap kebiasaan siswa dalam cara belajarnya.
Ide belajar tuntas tersebut memudar pada tahun 1930an. Hal ini disebabkan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang menunjang keberhasilan strategi belajar mengajar tersebut. Belajar tuntas baru mendapat perhatian lagi setelah para ahli pendidikan dan ahli psikologi pendidikan mengadakan penelitian mengenai perkembangan anak didik, tingkah laku manusia, hierarki belajar. dan lain-lain.
Dipandang dari sudut pendidikan memang cara belajar mengajar dengan menggunakan prinsip belajar tuntas sangatlah menguntungkan siswa karena hanya dengan cara tersebut setiap siswa dapat dikembangkan semaksimal mungkin.
Pandangan yang menyatakan semua siswa dapat belajar dengan hasil yang baik juga akan mempunyai imbas pada pandangan bahwa semua guru dapat mengajar dengan baik, karena itu, pengertian mengenai belajar tuntas dirasakan perlu untuk dimantapkan.
Dapat juga disimpulkan bahwa belajar tuntas dapat memberikan kemudahan bagi siswa untuk menguasai seluruh materi pelajaran dengan baik, sehingga nantinya siswa dalam menghadapi tes dapat menjawab seluruh soal dengan baik.
2.3.1 Ide Lahinya Belajar Tunas
Perkembangan yang pesat dalam dunia pendidikan pada abad ke-20 ini membawa kita untuk mempertimbangkan suatu pandangan tentang kemampuan siswa yang dapat ditingkatkan semaksimal mungkin dengan usaha yang efektif dan efisien.
Salah satu pandangan tentang kemampuan siswa tersebut dikemukakan ( Carrol dalam Subroto : 2009, 83 ) pada tahun 1963 berdasarkan penemuannya mengenai model belajar yaitu “Model of School Learning”. Model ini menguraikan faktor-faktor pokok yang mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Ia menyatakan bahwa bakat siswa untuk suatu pelajaran tertentu dapat diramalkan dari waktu yang disediakan untuk mempelajarinya dan atau waktu yang dibutuhkan untuk belajar untuk mencapai tingkat penguasaan tertentu. Dalam hal ini bakat bukan diartikan sebagai kapasitas belajar tetapi sebagai kecepatan belajar atau laju belajar. Ini berarti bahwa siswa yang berbakat tinggi akan dapat menguasai bahan dengan cepat sedangkan siswa yang berbakat rendah akan menguasai bahan dengan lambat. Dengan perkataan lain ( Carrol dalam Subroto: 2009, 84 ) “mendefinisikan bakat seseorang sebagai waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari suatu bahan pelajaran yang diberikan kepadanya sehingga mencapai tingkat penguasaan yang ditetapkan/ ditentukan”. Jadi, apabila siswa memerlukan 10 jam untuk menguasai dengan tuntas bahan pelajaran, tetapi ternyata ia hanya menggunakan 8 jam untuk belajar maka pada dasarnya ia hanya akan mencapai 80% penguasaan terhadap bahan yang dipelajarinya.
Carrol dalam Subroto (2009:84 ) berpendapat bahwa tingkat penguasaan bahan adalah fungsi dari waktu yang digunakan secara sungguh-sungguh untuk belajar dan waktu yang benar-benar dibutuhkan untuk mempelajari suatu bahan pelajaran.
Tingkat penguasaan =
Makin lama siswa menggunakan waktu secara sungguh-sungguh untuk belajar, makin tinggi tingkat penguasaan terhadap bahan yang dipelajarinya. Dalam kondisi belajar tertentu, waktu yang digunakan untuk belajar dan waktu yang dibutuhkan untuk menguasai bahan pelajaran tidak saja dipengaruhi oleh sifat individu tetapi juga oleh karakteristik dari pengajaran.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan waktu belajar yang digunakan ditentukan oleh lamanya siswa mau mempelajari suatu bahan dan waktu yang disediakan atau dialokasi. Sedangkan waktu yang dibutuhkan ditentukan oleh bakat siswa, kualitas pengajaran dan kemampuan siswa untuk menangkap bahan sajian ini dekat hubungannya dengan intelegensi umum siswa.
Dengan demikian secara lengkap model Carrol dalam Subroto (2009:85 ) dapat dirumuskan sebagai berikut :
Model J.B. Carrol yang masih bersifat konseptual ini kemudian diubah oleh Bloom dalam Subroto (2009:85 ) menjadi model yang operasional. Benyamin S. Bloom menyatakan apabila bakat siswa terdistribusi secara normal dan kepada mereka diberikan cara penyajian dengan kualitas yang sama dan waktu belajar yang sama maka hasil belajar yang dicapai akan terdistribusikan secara normal pula. Di sini korelasi antara bakat dan hasil yang dicapai sangat tinggi. Tetapi apabila bakat siswa terdistribusi secara normal dan setiap siswa atau individu diberikan cara penyajian yang optimal dan waktu belajar sesuai yang dibutuhkan siswa maka tingkat penguasaan bahan yang tinggi. Dalam hal ini korelasi antara bakat dan hasil belajar dapat dikatakan tidak ada.
Bloom dalam Subroto (2009:85 ) menyarankan untuk menggunakan atau memasukan ide atau gagasan model belajar mengajar ini ke dalam kelas, dimana waktu belajar yang disediakan atau dialokasikan dapat dikatakan telah tetap dan pasti. Dalam hal ini, tingkat penguasaan dapat disamakan dengan tingkat penguasaan tujuan-tujuan intruksional yang esensial setelah selesai mempelajari suatu bahan pelajaran atau setelah melalui proses belajar-mengajar.
Block dalam Subroto (2009:86 ) mengembangkan Model J.B. Carrol lebih operasional lagi. Ia mencoba untuk memperpendek waktu yang dibutuhkan oleh siswa untuk mempelajari suatu bahan pelajaran dalam waktu pengajaran yang telah dialokasikan dengan cara meningkatkan kualitas pengajaran dalam kelas.
2.3.2 Ciri-ciri Belajar Mengajar Dengan Prinsip Belajar Tuntas
Sistem belajar mengajar yang menggunakan prinsip belajar tuntas yang sekarang dilaksanakan mempunyai ciri-ciri yang tidak berbeda dengan ciri-ciri belajar tuntas yang ada pada tahun l920an sampai tahun 1930an. Ciri-ciri cara belajar mengajar dengan prinsip belajar tuntas antara lain adalah: (Subroto : 2009, 86)
1. Pengajaran didasarkan atas tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditentukan terlebih dahulu.
Ini berarti bahwa tujuan dari strategi belajar mengajar adalah agar hampir semua siswa dapat mencapai tingkat penguasaan tujuan pendidikan. Jadi, baik cara belajar mengajar maupun alat evaluasi yang digunakan untuk mengatur keberhasilan harus berhubungan erat dengan tujuan-tujuan pendidikan yang akan dicapai.
2. Memperhatikan perbedaan individu
Yang di maksud dengan perbedaan disini adalah perbedaan siswa dalam hal menerima rangsangan dari luar dan dari dalam dirinya serta laju belajarnya. Dalam hal ini pengembangan proses belajar mengajar hendaknya dapat disesuaikan dengan sensitivitas indra siswa. Jadi cara belajar mengajar yang hanya menggunakan satu macam metode dan satu macam media tidak dapat memberikan hasil yang diharapkan. Sebaliknya cara mengajar yang menggunakan multi metode dan multi media akan menghasilkan proses belajar yang bermutu dan relevan.
3. Evaluasi dilakukan secara kontinu dan didasarkan atas kriteria
Evaluasi dilakukan secara kontinu ( continous evaluation ) ini diperlukan agar guru dapat menerima umpan balik yang cepat/ segera, sestematis. Jadi, evaluasi dilakukan pada awal selama dan pada akhir proses belajar mengajar berlangsung. Evaluasi berdasarkan kriteria mengenal dua macam bentuk, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.
Scriven dalam Subroto (2009:87 ) berhasil membedakan kedua macam bentuk evaluasi ini. Tes keberhasilan yang diberikan pada akhir unit-unit pelajaran dimasukkan ke dalam kategori tes sumatif. Tes sumatif ini dimaksudkan untuk mengetahui penguasaan total terhadap suatu pelajaran yang diberikan. Tes formatif adalah tes yang digunakan selama siswa mempelajari bahan pelajaran untuk menguasai tujuan intruksional yang telah ditentukan.
Scriven dalam Subroto ( 2009:87 ) mengatakan evaluasi formatif mempunyai dua tujuan pokok:
a. untuk menemukan sampai seberapa jauh siswa telah menguasai bahan pelajaran. Dengan kata lain untuk menentukan bagian mana yang belum dikuasai siswa.
b. untuk melakukan penilaian cara mengajar yang direncanakan dan yang
diterapkan itu telah cukup baik atau masih memerlukan perbaikan,
Dapat disimpulkan pernyataan di atas bahwa penggunaan yang di bakukan dalam hal ini jelas tidak tepat digunakan dalam cara belajar mengajar dengan menggunakan prinsip belajar tuntas. Tes yang dibakukan lebih cocok digunakan untuk keberhasilan suatu kurikulum atau suatu program pendidikan. Ketidak cocokan tes yang di bakukan untuk belajar tuntas ini disebabkan karena nilai total yang didapat dan tes yang dibakukan tidak memberikan informasi yang tepat tentang keterampilan-keterampilan dan pengetahuan-pengetahuan apa yang belum dikuasai oleh siswa.
4. Menggunakan progaram perbaikan dan progaram pengayaan
Progaram perbaikan dan program pengayaan adalah sebagai akibat dari penggunaan evaluasi yang kontinu dan berdasarkan kriteria serta pandangan terhadap perbedaan kecepatan belajar mengajar siswa dan administrasi sekolah. Program perbaikan ditunjukan kepada mereka yang belum menguasai tujuan intruksional tertentu, sedangkan program pengayaan diberikan kepada mereka yang telah menguasai unit pelajaran yang diberikan.
5. Menggunakan prinsip siswa belajar aktif
Prinsip siswa belajar aktif memungkin siswa mendapatkan pengetahuan berdasarkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan sendiri. Cara belajar-mengajar demikian mendorong siswa untuk bertanya bila mengalami kesulitan, mencari buku dan sumber-sumber untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Selain itu prinsip siswa belajar aktif dapat mengembangkan keterampilan kognitif, keterampilan”manual” kreatifitas dan logika berfikir.
6. Menggunakan satuan pelajaran yang kecil
Cara belajar mengajar dengan menggunakan prinsip belajar tuntas menuntut pembagian bahan pengajaran menjadi unit yang kecil-kecil. Pembagian unit pelajaran menjadi bagian-bagian ini sangat diperlukan guna dapat memperoleh umpan balik secepat mungkin. Dengan demikian guru dapat melakukan usaha perbaikan sedini mungkin.
Unit-unit yang kecil tersebut haruslah disusun secara berurutan dari yang mudah sampai ke yang sukar. Dengan perkataan lain unit yang mendahului merupakan pra-syarat bagi unit selanjutnya. Penyusunan semacam ini akan mengurangi frekuensi pemberian tes pra-syarat. Secara ideal apabila dalam materi pelajaran yang terdapat dalam unit-unit pelajaran dapat disusun secara berurutan maka tes pra-syarat hanyalah diberikan pada setiap pemulaan semester. Tetapi dalam penelitian ini hanya mengambil pada satu pokok materi pelajaran IPA Fisika kelas VIII SMP. Yang prinsip belajarnya menggunakan pendekatan kelompok dengan mengunakan prinsip belajar tuntas.
2.3.3 Persiapan Mengajar Dengan Prinsip belajar Tuntas
Proyek penelitian pengembangan sistem pendidikan tidak dapat lepas sama sekali dengan sistem pendidikan yang berlaku sekarang. Hasil-hasil yang dicapai nantinya harus dapat digunakan tanpa banyak mengubah sistem administrasi dan struktur organisasi yang ada.
Untuk itu perlu disusun suatu stategi yang cocok untuk melaksanakan prinsip-prinsip belajar tuntas / ciri-ciri belajar tuntas. Strategi belajar tuntas dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu menentukan tujuan pengajaran dan tingkat menguasaan, dan persiapan pelaksanaan dengan prinsip belajar tuntas.
a. Menentukan tujuan pengajaran dan tingkat penguasaan
Tujuan instruksional atau tujuan pengajaran sebenarnya telah tercantum dalam garis-garis besar Program Pengajaran yang berlaku, dan tujuan instruksional yang masih umum kita harus dapat menjabarkan tujuan-tujuan operasional yang dapat diukur tingkat keberhasilannya. Tujuan-tujuan ini merupakan dasar bagi penyusun cara belajar mengajar dan tes. Jadi, tes tidak lain adalah suatu alat yang berfungsi untuk mengetahui sejauh mana siswa menguasai tujuan-tujuan intruksional setelah mereka mengalami proses belajar mengajar.
Sebelum mengembangkan tes, hendaknya dapat ditentukan terlebih dahulu tingkat penguasaannya atau standar ketuntasannya. Dengan cara demikian siswa akan berlomba-lomba, berkompetensi untuk mencapai standar ketuntasan yang telah ditentukan. Jadi dalam belajar setiap individu dilihat penampilannya berdasarkan tingkat penguasaan bahan yang telah tetap dan bukan dilihat penampilann yang didasarkan atas perbandingan teman-teman dalam suatu kelompok.
Adapun tujuan dan tingkat penguasaan pada materi pengukuran sub pokok bahasan besaran dan satuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Standar kompetensi : memahami prosedur ilmiah untuk mempelajari benda –benda alam dengan menggunakan peralatan.
2. Kompetensi dasar : mendeskripsikan besaran pokok dan besaran turunan
3. Indikator : mengidentifikasi besaran-besaran fisika dalam kehidupan sehari-hari kemudian mengelompokan dalam besaran pokok dan turunan, menggunakan satuan internasional dalam pengukuran, mengkonversi satuan panjang, massa, waktu secara sederhana.
4. Tujuan pembelajaran agar peserta didik dapat : mendefinisikan pengertian besaran, mengetahui tujuh besaran pokok yang ada dalam ilmu fisika, menjelaskan pengertian besaran pokok dan besaran turunan, mengetahui standar pengukuran yang baik, dapat menggunakan alat ukur panjang yaitu mistar, pita meter, jangka sorong, dan mikrometer sekrup, menjelaskan pengertian mengukur, mengetahui standar yang baik dalam mengukur panjang, tahu cara menggunakan alat ukur panjang, memahami pengukuran massa serta dapat menyebutkan alat-alat untuk mengukur massa, dan memahami pengukuran waktu serta menyebutkan alat-alat untuk mengukur waktu.
5. materi pembelajaran Pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan
6. Media charta
7. Sumber belajar yaitu buku Fisika kelas VII karangan Marthen Kanginan penerbit : Erlangga Jakarta.
b. Persiapan pelaksanaan
1. Menentukan pokok bahasan dan luas materi unit pelajaran-pelajaran setelah mengetahui tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam satu periode, tertentu. misalnya satu periode, tertentu, misalnya satu catuwulan atau satu semester maka ditentukanlah pokok-pokok bahasannya. Pokok-pokok bahasan ini kemudian ditentukan kedalam bahannya.( operasional pelaksanaan dapat dilihat pada halaman : 28-32 )
2. Merencanakan pengajaran
Untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan diperlukan rencana apa yang akan di ajarkan, bagaimana cara mengajarkan.Untuk maksud tersebut perlu juga pengajaran secara individu, pengajaran berbentuk kelompok atau berbentuk kiasikal.
Subroto (2009:91 ) Menyatakan dalam merencanakan topik pelajaran perlu diperhatikan:
a. kegiatan-kegiatan yang direncanakan hendaknya dapat dilakukan oleh siswa sendiri (siswa aktif belajar). Kegiatan yang harus dilakukan siswa yaitu dapat menjelaskan dan melakukan pengukuran dengan alat ukur, dapat memberikan contoh besaran yang ada dalam fisika kemudian mengelompokannya dalam besaran pokok dan besaran turunan.
b. dalam setiap kegiatan harus jelas dinyatakan apa yang harus dipelajari siswa dan bagaimana caranya. Kegiatan yang harus di pelajari Siswa yaitu tentang pengukuran, siswa harus mengerti dan tahu bagaimana cara menggunakan alat ukur panjang yaitu mistar, pita meter, jangka sorong, mikrometer sekrup dan tahu ketelitian masing-masing alat tersebut.
c. proses belajar mengajar harus direncanakan sehingga siswa dapat termotivasi baik pada awal, pada waktu proses belajar berlangsung maupun sesudahnya. Proses belajar mengajar akan dilakukan dengan dua kali pertemuan dengan diberikan tes pada akhir pertemuan.
d. pelajaran hendaknya di sajikan sehingga menarik perhatian siswa. Salah satu cara agar bahan pelajaran disajikan sehingga menarik perhatian siswa dengan memberikan contoh-contoh yang ada dalam kehidupan sehari-hari para siswa. Selain itu, hendaknya disajikan bahan pelajaran yang tidak terlalu sukar dan juga tidak terlalu mudah bagi siswa pada tingkat tertentu.
3. Merencanakan evaluasi
Sebelum melaksanakan tes sebagai suatu alat evaluasi perlu di buat kisi-kisi yang dapat menggambarkan keseluruhan materi yang dibahas dalam atu topik pelajaran. Berdasarkan kisi-kisi tersebut dan berdasarkan cara penyampaian bahan yang telah direncanakan itu dibuat alat evaluasi (tes formatif ) untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan mana yang masih belum dikuasai oleh siswa dan tujuan-tujuan mana yang sudah dikuasai siswa. Selain itu, hasil dan evaluasi ini hendaknya dapat menginformasikan bagian-bagian bahan mana yang lemah dan harus diperbaiki.
Dalam penelitian ini akan dilakukan tes akhir secara tertulis yang akan dilakukan setelah materi pelajaran selesai diajarkan.
4. Merancang program-program perbaikan
Dari evaluasi yang direncanakan akan didapat tujuan-tujuan yang belum dikuasai oleh siswa. Untuk maksud tersebut maka program perbaikan harus dilaksanakan sebaik mungkin. Program perbaikan yang direncanakan akan lebih efektif bila cara penyajian bahan, kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan siswa dan motivasinya berlainan dengan yang semula.
5 .Merencanakan program pengayaan
(Subroto 2009, 93 ) Memberikan bentuk progam pengayaan sebagai berikut:
1. Memperdalam atau pun memperluas konsep yang telah dipelajari dalam bahan pelajaran yang disajikan . pendalaman atau perluasan konsep ini tidak akan diajarkan unit pelajaran-unit pelajaran selanjutnya.
2. Menambah beberapa kegiatan-kegiatan yang belum terdapat dalam pelajaran pokok. Kegiatan-kegiatan ini dapat meliputi kegiatan yang menyangkut kegiatan sosial budaya yang tidak perlu ada kaitannya dengan topik pelajaran pokok maupun kegiatan yang masih berada dalam ruang lingkup pelajaran pokok.
Dengan demikian, pendekatan kelompok mengunakan konsep belajar tuntas, merupakan suatu langkah dalam pembelajaran didalam kelas yang tujuannya membiasakan siswa sebagai peserta didik untuk dapat melakukan kerjasama antara sesama anggota kelompok. Pendekatan kelompok mengunakan konsep belajar tuntas memiliki kecenderungan untuk tidak membedakan antara siswa yang satu dengan yang lain dan antara yang pandai dengan yang bodoh karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang perlu kerjasama, perlu bersosialisasi, perlu bantuan orang lain. Sehingga pelaksanaan pengajaran di kelas akan berjalan dengan lebih baik dan terarah.
Konsep belajar tuntas ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan yang sudah menjadi ciri dari setiap metode pembelajaran. keuntung atau kelebihan yang dimiliki oleh model belajar tuntas ini antara lain: (1) memungkinkan siswa belajar lebih aktif (2) strategi ini sejalan dengan pandangan pesikologi belajar modern yang berpegang pada prinsip perbedaan individual, belajar kelompok (3) strategi ini berorientasi kepada peningkatan produktivitas hasil belajar, yakni siswa menguasai bahan pelajaran secara tuntas, menyeluruh dan utuh (4) strategi ini, guru dan siswa diminta bekerjasama secara partisipatif dan persuasif, baik dalam proses belajar maupun dalam proses bimbingan terhadap siswa lainnya (5) penilaian yang dilakukan terhadap kemajuan belajar siswa mengandung unsur objektifitas yang tinggi sebab penilaian dilakukan oleh guru, rekan sekelas, dan diri sendiri, dan berlangsung secara berlanjut serta berdasarkan ukuran keberhasilan (6) pada hakekatnya, strategi ini tidak mengenal siswa yang gagal belajar atau tidak naik kelas karena siswa yang ternyata mendapat hasil yang kurang memuskan atau masih di bawah target dan hasil yang dihrapkan, terus-menerus di bantu oleh rekannya dan guru (7) pengajaran tuntas berdasarkan perencanaan yang sistemik, yang memiliki derajat koherensi yang tinggi dengan garis-garis besar program pengajaran bidang studi (8) strategi ini menyediakan waktu belajar yang cukup sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masing-masing individu siswa sehingga memungkinkan mereka belajar secara lebih leluasa (9) strategi belajar tuntas berusaha mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam strategi belajar mengajar lainnya, yang berdasarkan pendekatan kelas saja, atau kelompok saja, atau individualisasi saja (10) strategi ini mengaktifkan guru-guru sebagai suatu regu yang harus bekerja sama secara efektif sehingga kelangsungan proses belajar siswa dapat terjamin dan berhasil optimal (Ahmadi dan Prasetya, 2005:165-166).
Sedangkan kelemahan dari konsep belajar tuntas ini adalah sebagai berikut:
1. Strategi ini sulit dalam pelaksanaannya karena melibatkan berbagai kegiatan, yang berarti menuntut macam-macam kemampuan yang memadai.
2. Guru-guru umumnya masih mengalami kesulitan dalam membuat perencanaan belajar tuntas karena harus dibuat dalam jangka waktu satu semester disamping penyusunan satuan-satuan pelajaran yang lengkap dan menyeluruh.
3. Guru-guru yang sudah terbiasa dengan cara-cara lama akan mengalami hambatan untuk menyelenggarakan strategi ini yang relatif lebih sulit dan relatif masih baru.
4. Strategi ini sudah tentu memerlukan berbagai fasilitas, perlengkapan, alat, dana, dan waktun yang cukup besar, sedangkan sekolah-sekolah kita masih langka dalam segi sumber-sumber teknis seperti yang di harapkan.
5. Untuk melaksanakan strategi ini yang mengacu kepada penguasaan materi belajar secara tuntas pada gilirannya menuntut para guru agar menguasai materi tersebut secara lebih luas, menyeluruh, dan lebih lengkap. Hal itu menuntut para guru agar belajar lebih banyak dan menggunakan sumber-sumber yang lebih luas.
6. Diberlakukannya sistem ujian ( ebta dan ebtanas ) tetapi sekarang di ubah menjadi mid semester dan ujian semester yang menuntut penyelenggaraan program bidang studi pada waktu yang telah ditetapkan dan usaha persiapan para siswa untuk menempuh ujian, mungkin menjadi salah satu unsur penghambat pelaksanaan belajar tuntas yang diharapkan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas merupakan pola pembelajaran yang membina siswa dan guru untuk bekerjasama dalam proses belajar sehingga materi yang di berikan oleh seorang guru yang tersusun secara rapi, dengan waktu yang tepat, maka seluruh bahan ajar dapat dikuasai oleh siswa dengan sebaik mungkin sehingga ketuntasan dan hasil belajar dapat tercapai dengan baik.
2.3.4 Operasional Pendekatan Kelompok Dengan Konsep Belajar Tuntas
Adapun operasional pendekatan kelompok dengan konsep belajar tuntas dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :
TABEL. 1
Operasional Pendekatan Kelompok Dengan Konsep Belajar Tuntas
No Tahapan Siklus
Belajar Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
1. Orientasi • Menetapkan isi pembelajaran tentang pengukuran pada pokok bahasan besaran dan turunan
• Meninjau ulang pembelajaran sebelumnya yaitu pengertian fisika sebagai cabang ilmu sains
• Menetapkan tujuan pembelajaran yaitu dapat menjelaskan pengertian pengukuran, pengertian besaran, dapat menyebutkan dua besaran dalam fisika yaitu besaran pokok dan besaran turunan, dapat mengkonversi satuan, dapat mengunakan alat ukur panjang yaitu mistar, pita meter, jangka sorong, mokrometer sekrup, dapat menyebutkan alat ukur massa, dan waktu.
• Bertnya tentang isi pelajaran
• Mengingat kembali pembelajaran sebelumnya
• Memahami tujuan pembelajaran yang harus dicapai
No Tahapan Siklus
Belajar Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
• Menetapkan langkah-langkah pembelajaran yaitu
1. kegiatan Pendahuluan dengan
a. apersepsi/motivasi
Apa yang harus kita lakukan untuk mengetahui panjang sebuah meja, dan tinggi badan kita ?
b. Prasyarat
pengetahuan :
Apa yang
dimaksud besaran
?
Apa yang
dimaksud
besaran
pokok dan
besaran turunan ?
2. Kegiatan inti :
Membagi siswa
dalam kelompok,
menjelaskan
pengertian
pengukuran,
besaran, cara
mengkonversi
satuan,
memberikan
contoh
perhitungan
konversi satuan,
menjelaskan
bagai mana cara
menggunakan alat
ukur panjang
yaitu mistar, pita
meter, jangka
sorong, • Bertanya / mediskusikan langkah-langkah pembelajaran.
No Tahapan Siklus
Belajar Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
Mikrometer
sekrup,
menyebutkan alat
ukur massa dan
waktu.
3. Kegiatan penutup
Guru
menyimpulkan
materi yang sudah
di pelajari, guru
memberikan PR
yaitu.
1. jelaskan pengertian besaran !
2. sebutkan tujuh besaran pokok !
• sebutkan tiga besaran turunan
2. Penyajian • Menjelaskan / menerangkan materi pelajaran materi pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan
• Menggunakan media untuk menjelaskan materi pelajaran berupa media charta dan alat peraga mistar, jangka sorong dan mikrometer sekrup.
• Mengevaluasi unjuk kerja siswa berupa latihan yaitu : selesaikanlah soal konversi satuan di bawah ini !
1.1km =... • Memperhatikan, bertanya.
• Mendiskusikan, bertanya.
• Menjawab tes yang di berikan guru
No Tahapan Siklus
Belajar Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
3.
Latihan terstruktur 2. 1000 m = ....km
3. 2058 g =......g
4. 235 m =.....cm
• Guru memberikan contoh langkah-langkah penting dalam menyelesaikan soal misal :
1. 2,35 m = 2,35 (100) cm = 235 cm. Cara penyelesaian buat tangga konversi.
2. 0,05 km = 0,05 (1000) m = 50 m. Cara penyelesaian gunakan tangga konversi dimulai dari km, hm, dam, m, dm, cm, mm.
• Guru memberikan umpan balik (yang bersifat korektif) atas kesalahan siswa dan mendorong untuk menjawab dengan benar setiap tugas yang diberikan.
• Memperhat contoh soal yang di berikan guru.
• Mencermati umpan balik dari guru, Jika ada hal yang belum jelas bertanya lagi pada guru
No Tahapan Siklus
Belajar Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
4 Latihan terbimbing • Guru memberi tugas yaitu mengukur sebuah tutup tipex dengan jangka sorong
• Guru mengawasi semua siswa secara merata
• Guru memberikan umpan balik. Memuji, dan sebagainya tentang materi pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan.
• Siswa mengerjakan tugas dengan semi bimbingan
• Siswa mengerjakan tugas dengan semi bimbingan
• Mencermati umpan balik dari guru, jika ada hal yang belum jelas bertanya lagi pada guru.
5. Latihan kelompok • Guru memberi tugas secara kelompok yaitu:
1. jika sebuah jangka sorong memiliki skala utama 2,2 cm dan garis noniusnya ber himpit tepat pada garis skala utama adalah garis ke-5. tentukanlah panjang benda tersebut !
2. isilah titik-titik di bawah ini:
a. 200 cm = ...m
b. 20000km =..m
c. 7456 g =....kg
d. 1kg =.......mg
• Guru memeriksa dan jika perlu memberi umpan balik atas hasil kerja kelompk • Siswa mengerjakan tugas di kelas / di rumah secara kelompok.
• Mencermati umpan balik dari guru jika ada hal yang belum jelas bertanya lagi pada guru.
Dalam penelitian ini kegiatan dalam proses belajar mengajar dilakukan dengan pendekatan kelompok terhadap semua siswa. Dengan mengarahkan semua siswa untuk bekerja sama terhadap kelompoknya masing-masing. sehingga permasalahan yang dihadapi oleh siswa dapat diselesaikan dengan baik secara bersama-sama dan diharapkan ketuntasan dalam belajar dapat tercapai dengan baik. Adapun ketuntasan belajar dapat tercapai apabila siswa sudah mencapai 75% taraf penguasaan terhadap materi pelajaran yang sudah dipelajari (SuryoSubroto, 2009:101).
BAB III
PROSEDUR PENELITIAN
3.1 Variabel Penelitian
“Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang di tetapkan oleh peneliti, sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya” (Sugiyono, 2008:60).
Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu “Penerapan Pendekatan Kelompok (Group Based Approach) Dengan menggunakan Konsep Belajar Tuntas (Mastery Learning) Pada Mata Pelajaran IPA Fisika Di SMP Negeri 30 Palembang.”, maka yang menjadi variabel penelitian ini adalah pendekatan Kelompok (Group Based Approach) Dengan menggunakan Konsep Belajar Tuntas (Mastery Learning).
3.2 Definisi Operasional Variabel
Konsep belajar tuntas adalah suatu filsafat yang mengatakan bahwa dengan sistem pengajaran yang tepat semua siswa dapat belajar dengan hasil yang baik dari hampir seluruh materi pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Belajar tuntas disini mempunyai ketetapan ketuntasan dalam belajar yaitu 75% siswa harus mencapai taraf penguasaan materi pelajaran yang sudah dipelajari ( SuryoSubroto, 2009:101).
Pendekatan kelompok adalah pendekatan yang sangat penting dalam kegiatan belajar-mengajar. Dengan pendekatan kelompok ini kita dapat membina sikap anak didik agar mempunyai jiwa sosial yang tinggi, karena anak didik disini merupakan makhluk homo socius yang berkecenderungan hidup bersama. Dalam hal ini diperlukan suatu kerjasama. Salah satunya adalah membentuk kelompok.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung atau pun mengukur, kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya (Sudjana, 2005:6). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 30 Palembang sebagai berikut :
TABEL 2
POPULASI PENELITIAN
No Kelas Jumlah populasi
1. VII.1 40
2. VII.2 39
3. VII.3 40
4. VII.4 40
5. VII.5 40
6. VII.6 40
7. VII.7 40
Jumlah 279
3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2008:62). Dalam pengambilan sampel, diperlukan teknik pengambilan sampel yang disebut dengan teknik sampling. dimana pada dasarnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu: probability sampling dan nonprobability sampling. Probability sampling meliputi, simple random sampling, proportionate stratified random sampling, disproportionate stratified random, sampling area. Nonprobability sampling meliputi sampling sistematis, sampling kuota, sampling incidental, purposife sampling, sampling jenuh, snowball sampling. Dari berbagai teknik sampling, penulis memilih teknik probability sampling yakni simple random sampling, yaitu pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu. Maka sampel yang diambil yaitu kelas VII.4 dengan jumlah 40 orang siswa.
3.3.4 Metode Penelitian
“Metodologi penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu”. (Sugiono, 2008:3). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif. Metode deskriptif kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif /statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2008:14).
3.3.5 Teknik Pengumpulan Data
Sebelum melakukan pengolahan data langkah yang harus ditempuh adalah melakuakan pengumpulan data sebagai berikut:
3.3.5.1 Tes Akhir
Menurut jauhari tes adalah sebuah instrumen pengumpulan data dalam penelitian untuk mengukur pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan responden (Jauhari, 2009:156). Agar di dapat hasil tes yang dipercaya, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. membuat kisi-kisi tes akhir pada materi pengukuran pada sub pokok bhasan besara dan satuan yang terdapat dalam kurikulum dan Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) ( terlampir )
2. menyusun tes akhir berdasarkan pada materi yang terdapat pada kisi-kisi tes akhir yang telah dibuat. Tes ini dibuat berbentuk isay dengan 5 soal ( terlampir )
3. uji coba tes akhir
Uji coba tes akhir ini dilakukan pada akhir pertemuan.
3.3.5.2 Observasi
Observasi adalah suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis (Sutrisno dalam Sugiono, 2008:203) dalam pengumpulan data, penulis menggunakan teknik observasi terstruktur yaitu observasi yang telah di rancang secara sistematis, tentang apa yang akan diamati, kapan dan dimana tempatnya. Jadi observasi tersetruktur dilakukan apabila peneliti telah tahu dengan pasti tentang variabel apa yang akan diamati. Dalam melakukan pengamatan ini peneliti menggunakan instrumen penelitian yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya.
Observasi dalam penelitian ini untuk memperoleh aktivitas belajar siswa setelah pembelajaran berlangsung dilakukan dengan lembar observasi yang terdiri dari indikator dan deskriptor. Aktivitas belajar siswa dapat dilihat melalui alat observasi yang berupa alat chek list. Dalam hal ini peneliti tinggal memberi tanda( √ ) pada setiap kemunculan gejala yang di maksud ( Arikunto, 2002: 136).
3.3.5.6 Teknik Analisis Data
3.3.5.6.1 Analisis Data Tes
Data tes diperoleh dengan memeriksa lembar tes yang kemudian dianalisis untuk melihat tingkat kemampuan siswa dengan cara menjumlahkan skor semua jawaban dari setiap soal. Skor tes yang diperoleh masing-masing siswa kemudian diolah menggunakan rumus berikut :
S = x 100 (Purwanto, 2004:112)
Keterangan : S = Nilai akhir yang diperoleh
R = Skor mentah yang diperoleh
N = Skor maksimum
Selanjutnya skor hasil tes siswa dicocokkan dengan kategori yang dapat dilihat pada tabel kategori penilaian hasil belajar siswa :
Kemudian data hasil tes siswa di berikut : analisis dengan statatistik yaitu dengan menggunakan rumus rata-rata sebagai
(Sudjana, 2002 : 67)
Keterangan : Nilai rata-rata belajar siswa
Jumlah nilai siswa
n = Jumlah siswa
Selanjutnya hasil tes siswa tersebut dipresentasikan pada tabel penilaian di bawah ini :
Tabel 3
Kategori Penilaian Hasil Belajar Siswa
Skor Akhir Kriteria
86 – 100 Sangat baik
76 – 85 Baik
60 – 75 Cukup
Skor Akhir Kriteria
55 – 59 Kurang
≤ 54 Sangat kurang
3.3.5.6.2 Analisis Observasi
Observasi dilakukan untuk mengamati aktivitas siswa selama proses belajar mengajar berlangsung. Untuk mendapatkan data mengenai aktivitas siswa tersebut, maka dibuatlah pedoman observasi dengan indikator dan deskriptor. Adapun indikator yang akan diamati dalam pembelajaran dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4
Indikator dan Deskriptor pada Pedoman Kegiatan Observasi
No. Indikator Deskriptor
1.
Aktivitas visual 1.1 Memperhatikan penjelasan guru tentang materi pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan
No. Indikator Deskriptor
1.2 Memperhatikan dan mengamati guru dalm mendemontrasikan alat peraga
1.3 Mengamati cara penggunaan alat peraga yang dilakukan teman sekelompok
2.
Aktivitas menulis 2.1 Mengerjakan soal di papan tulis
2.2 Menyelesaikan tugas dengan tepat waktu
2.3 Mengerjakan semua butir soal yang di berikan
3. Aktivitas lisan 3.1 Menjawab pertanyaan secara lisan
3.2 Aktif bertanya menenai materi pelajaran
2 3.3 Mampu berkomunikasi dengan guru selama proses belajar mengajar berlangsung
Penilaian terhadap aktivitas siswa dapat dilihat dari tiap indikator yang muncul, setiap indikator mempunyai deskriptor yang menunjang indikator itu.
Adapun cara penilaian lembar observasi dapat dilihat berdasarkan tabel di bawah ini :
Tabel 5
Penilaian Lembar Observasi
Skor Kategori
1 Tidak satupun deskriptor yang tampak
2 Satu deskriptor yang tampak
3 Dua deskriptor yang tampak
4 Tiga deskriptor yang tampak
Setelah diperoleh data observasi, maka data tersebut dianalisis secara deskriptif kuantitatif yaitu dengan cara menng hitung frekuensi dari deskriptor / indikator yang tampak dan dideskripsikan deskriptor / indikator yang dominan atau sedikit nampak. Data dari hasil observasi dari setiap pertemuan dianalisis secara deskriptif kuantitatif dengan menghitung rata-rata frekuensi indikator yang muncul perdiskriptor.
Cara menganalisis daftar cek yaitu sebagai berikut :
a. jumlahkan item-item dari taap-taip indikator yang di check list.
b. cari persentasinya dengan rumus :
NP = R x 100% (Purwanto,2009:102)
SM
Keterangan:
NP = Jumlah persentase yang dicari
SM = Jumlah skor minimun
R = Jumlah skor mentah
100 = Bilangan tetap
Aktivitas siswa tergolong tiggi jika persentase aktivitas siswa mencapai 75% dan aktivitas cukup relatif, aktif, dan sangat aktif. Sedangkan aktivitas siswa tergolong rendah jika persentase aktivitas siswa kurang dari 75% dengan aktivitas kurang aktif dan sangat kurang aktif.
TABEL 6
KATEGORI TINGKAT AKTIVITAS SISWA
Sekor rata-rata Frekuensi
86 -100 %
76 – 85 %
60 – 75 %
55 – 59 %
54 %
Sangat Aktif
Aktif
Cukup Aktif
Kurang Aktif
Sangat kurang Aktif
Jumlah 40
Aktivitas siswa terhadap penerapan pendekatan kelompok dengan menggunakan kosep belajar tuntas digunakan tabel 6. dibawah ini :
TABEL 7
LEMBAR OBSERVASI
Indikator Nama siswa
Deskriptor
1
2 3 4 5 6
Jumlah
1. 1.
2.
3..
2. 1.
2.
3.
3. 1.
2.
3.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Data
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 20 sampai dengan 30 Juli 2010 di kelas VII.4 SMP Negeri 30 Palembang yang berjumlah 39 orang siswa. Penelitian ini dilakukan sebanyak 2 kali pertemuan atau 4 jam pelajaran.
Pengambilan data penelitian ini dilakukan dengan dua cara observasi dan tes. Observasi dalam penelitian ini dilakukan untuk melihat aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Observasi dalam penelitian ini dilakukan dalam dua kali pertemuan. Sedangkan data tes diambil dari nilai tes yang diberikan pada pertemuan ketiga. Tes tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa setelah diterapkan pendekatan kelompok ( group based approach ) dengan
menggunakan konsep belajar tuntas (mastery learning ) pada mata pelajaran IPA fisika.
4.1.1 Deskripsi Data Observasi
Observasi dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung. Lembar observasi terdiri dari 3 indikator. Masing-masing indikator terdiri dari 3 deskriptor. Hasil penelitian dari observasi ini dimaksud untuk mengetahui gambaran tentang tingkat aktivitas siswa saat dilaksanakan penerapan pendekatan kelompok ( Group Based Approach ) dengan menggunakan konsep belajar tuntas ( Mastery Learning ) pada mata pelajaran IPA Fisika di SMP Negeri 30 Palembang. Adapun data observasi dapat dilihat pada tabel aktivitas siswa sebagai berikut :
TABEL 8
DATA AKTIVITAS SISWA
No Indikator/Deskriptor Pertemuan ke -1 Pertemuan ke -2
Frekuensi % Frekuensi %
1. Aktivitas Visual
1.1 Memperhatikan penjelasan guru tentang materi pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan. 39 97,5 32 80
1.2 Memperhatikan dan mengamati guru dalam mendemontrasikan alat peraga. 37 92,5 34 85
1.3 Mengamati cara penggunaan alat peraga yang dilakukan teman sekelompok 25 62,5 37 92,5
2. Aktivitas Menulis
2.1 Mengerjakan soal di papan tulis 24 60 29 72,5
2.2 Menyelesaikan tugas dengan tepat waktu 33 82,5 33 82,5
2.3 Mengerjakan semua butir soal yang diberikan 33 82,5 33 82,5
3. Aktivitas Lisan
3.1 Menjawab pertanyaan secara lisan 32 80 25 62,5
3.2 Aktif bertanya mengenai materi pelajaran 34 85 37 92,5
3.3 Mampu berkomunikasi dengan guru selama proses belajar mengajar berlangsung 37 92,5 39 97,5
Jumlah 249 735 299 747,5
Rata-rata 81.66 83,05
TABEL 9
DATA NILAI OBSERVASI PER INDIKATOR
No Indikator Nilai Observasi Pertemuan ke- Jumlah Persentase
(%)
1 2
Aktivitas Visual 84,16 85,83 169,99 84,99%
Aktivitas menulis 75 79,16 154,16 77,08%
Aktivitas Lisan 85,83 84,16 169,99 84,99%
Jumlah 244,99 249,15 494,14 247,06%
Rata-rata 81,66 83,05 82,35%
4.1.2 Deskripsi Data Tes
Data tes digunakan sebagai data pelengkap, yakni untuk melengkapi data penelitian yang tidak didapatkan dari hasil observasi dan untuk menyesuaikan data yang sudah diperoleh dari hasil observasi. Data tes ini juga berfungsi sebagai data pelengkap untuk menghindari hasil observasi yang bersifat subjektif agar benar-benar diperoleh dari data hasil penelitian yang objektif.
Data tes diberikan kepada siswa setelah dilaksanakan penerapan pendekatan kelompok dengan konsep belajar tuntas pada sub pokok bahasan pengukuran, yaitu pada pertemuan ke-3 setelah pertemuan ke-2 atau pertemuan terakhir. Soal tes yang diberikan kepada siswa berjumlah 5 soal dalam bentuk essay yang telah divalidasikan terlebih dahulu.
Adapun deskripsi data hasil tes siswa dapat di lihat pada tabel sebagai berikut
TABEL 10
HASIL TES BELAJAR SISWA
Nilai
.
64 – 69 10 66,5 665
70 – 75 1 72,5 72,5
76 – 81 10 78,5 785
82 – 87 14 84,5 1183
88 – 93 3 90,5 271,5
94 – 99 2 96,5 193
Jumlah ∑ = 40
∑ = 489
∑ . = 3170
TABEL 11
HASIL TES BELAJAR SISWA SESUDAH REMIDIAL
Nilai
.
78 – 81 3 79,5 238,5
82 – 85 5 83,5 417,5
86 – 89 1 87,5 87,5
90 – 93 1 91,5 91,5
Jumlah ∑ = ∑ = 342
∑ . = 835
TABEL 12
DAFTAR NILAI KELOMPOK
No. Kelompok Nilai yang Diperoleh Kriteria
1. A 95 Sangat Baik
2. B 80 Sangat Baik
3. C 100 Sangat Baik
4. D 100 Sangat Baik
Jumlah 375
Nilai rata-rata 93,75 Sangat Baik
4.2 Analisis Data
4.2.1 Analisis Data Observasi
Dari data hasil observasi dianalisa dengan analisis deskriptif kualitatif yaitu menghitung rata-rata skor indikator yang muncul. Adapun persentase yang diperoleh setiap indikator dapat dilihat pada tabel 8 dan tabel 9.
Pada aktivitas visual pertemuan I deskriptor yang paling dominan tampak terdapat deskriptor 1.1 dan 1.2, sedangkan deskriptor yang paling sedikit tampak pada deskriptor 1.3. yaitu mengamati cara penggunaan alat peraga yang dilakukan teman sekelompok. Hal ini disebabkan karena, beberapa siswa tersebut ingin berebut memperagakan alat peraga sendiri sehingga ada beberapa siswa yang mengalah dan tidak memperhatikan cara penggunaan alat peraga tersebut. Pada pertemuan II aktivitas visual deskriptor yang paling dominan tampak terdapat 1.2 dan 1.3, sedangkan deskriptor yang paling paling sedikit tampak terdapat pada deskriptor 1.1. Dari kedua pertemuan tersebut dapat di lihat bahwa deskriptor yang paling dominan muncul adalah deskriptor 1.1 dan 1.2 yaitu Memperhatikan penjelasan guru tentang materi pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan, dan memperhatikan dan mengamati guru dalam mendemontrasikan alat peraga. Dari setiap pertemuan, perubahan aktivitas visual semakin meningkat, itu dapat dilihat dari perbandingan persentasenya yaitu 84,16% menjadi 85,83%
Pada pertemuan I aktivitas menulis deskriptor yang paling dominan tampak terdapat deskriptor 2.2 dan 2.3, sedangkan deskriptor yang paling sedikit tampak pada pada deskriptor 2.1 yaitu mengerjakan soal di papan tulis. Hal ini disebabkan karena, siswa merasa takut salah pada saat tampil kedepan mengerjakan soal di papan tulis. Pada pertemuan II aktivitas menulis deskriptor yang paling dominan tampak terdapat 2.2 dan 2.3, sedangkan deskriptor yang paling paling sedikit tampak terdapat pada deskriptor 2.1 deskriptornya sama dengan dengan pertemuan 1. Dari kedua pertemuan tersebut dapat dilihat bahwa deskriptor yang paling dominan muncul adalah deskriptor 2.2 dan 2.3 yaitu Menyelesaikan tugas dengan tepat waktu dan Mengerjakan semua butir soal yang diberikan. Dari setiap pertemuan , perubahan aktivitas visual semakin meningkat, itu dapat dilihat dari perbandingan persentasenya yaitu 75% menjadi 79,16%
Pada pertemuan I aktivitas lisan deskriptor yang paling dominan tampak terdapat deskriptor 3.2 dan 3.3, sedangkan deskriptor yang paling sedikit tampak pada pada deskriptor 3.1 yaitu menjawab pertanyaan secara lisan. Hal ini disebabkan karena, banyak siswa yang tidak berani menyampaikan pendapatnya sendiri dan merasa malu dan takut salah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pada pertemuan II aktivitas lisan deskriptor yang paling dominan tampak terdapat 3.2 dan 3.3, sedangkan deskriptor yang paling paling sedikit tampak terdapat pada deskriptor 3.1 yaitu menjawab pertanyaan secara lisan. Hal ini sama dengan pertemuan 1 banyak siswa yang tidak berani menyampaikan pendapatnya sendiri dan merasa malu dan takut salah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dari kedua pertemuan tersebut dapat dilihat bahwa deskriptor yang paling dominan muncul adalah deskriptor 3.2 dan 3.3 yaitu Aktif bertanya megenai materi pelajaran dan mampu berkomunikasi dengan guru selama proses belajar mengajar berlangsung. Dari setiap pertemuan , perubahan aktivitas visual ini sedikit menurun, itu dapat dilihat dari perbandingan persentasenya yaitu 85,83% menjadi 84,16%.
Dari hasil observasi diperoleh data mengenai aktivitas belajar fisika siswa melalui pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas, yaitu sebagai berikut:
TABEL 13
HASIL PENGAMATAN AKTIVITAS SISWA
Kriteria aktivitas Siswa Frekuensi Persentase
Sangat Aktif
Aktif
Cukup Aktif
Kurang Aktif
Sangat kurang Aktif 26
14
0
0
0 65%
35%
0
0
0
Jumlah 40 100
Di lihat dari tabel di atas dapat dinyatakan bahwa aktivitas siswa selama proses penerapan pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas pada mata pelajaran IPA Fisika siswa kelas VII.4 SMP Negeri 30 Palembang tergolong sangat aktif, dengan persentase 86,56 ( dapat dilihat pada lampiran ).
4.1.2.2 Analisis Data Tes
Data dari hasil tes dianalisis dengan metode analisis deskriptif kualitatif yaitu menghitung nilai rata-rata hasil belajar siswa dan hasil pembelajaran siswa secara
berkelompok, hasil belajar siswa dari 40 orang siswa setelah diadakan tes memiliki nilai rata-rata 79,2 dan hasil belajar siswa yang remidial terdapat 10 orang siswa memiliki nilai rata-rata 83,5. Dapat dilihat juga hasil belajar siswa secara berkelompok memliki nilai rata-rata 93,75.
4.3 Pembahasan
4.3.1 Data Observasi
Observasi yang dilakukan ini digunakan untuk melihat aktivitas siswa dalam pembelajaran fisika dengan menggunakan konsep belajar tuntas melalui pendekatan kelompok. Berdasarkan hasil analisis data observasi tingkat aktivitas siswa pada saat penerapan pendekatan kelompok dengan konsep belajar tuntas pada mata pelajaran fisika dapat dikategorikan aktif dengan rata-rata persentase seluruh indikator sebesar 82,35%. Hal ini dapat dilihat dari persentase seluruh indikator pada pertemuan pertama dengan persentase 81,66%, dan pada pertemuan kedua persentase seluruh indikator meningkat menjadi 83,05%. Dari data observasi dapat dilihat juga aktivitas siswa dalam hasil pengamatan pada saat belajar tentang materi pengukuran terdapat 26 orang siswa (65%) tergolong sangat aktif, 14 orang siswa (47,5% ) tergolong aktif.
Berdasarkan tabel pengamatan dapat dilihat bahwa antusias siswa dalam pembelajaran dengan menggunakan konsep belajar tuntas melalui pendekatan kelompok mengalami peningkatan. Dengan konsep pembelajaran ini membuat siswa termotivasi untuk belajar, karena membuat siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan suatu masalah secara bersama-sama untuk dapat menguasai seluruh materi pelajaran yang sudah diajarkan.
Pada pertemuan pertama dengan persentase 81,66% tergolong aktif membahas mengenai materi pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan. Dengan menggunakan konsep belajar tuntas melalui pendekatan kelompok siswa memperhatikan penjelasan guru dan siswa dituntut akif untuk bisa memahami dan menjelaskan mengenai materi pelajaran yang sudah diajarkan yaitu untuk dapat menjelaskan dan memahai pengertian pengukuran, pengertian besaran, penngertian besaran pokok pengertian besaran turunan, cara konversi satuan. Siswa berlomba-lomba dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai materi pengukuran tersebut sehingga keaktifan siswapun tercapai dengan baik dan siswapun tertarik untuk mengikuti materi pelajaran tersebut.
Pada pertemuan kedua, aktivitas siswa mengalami peningkatan dibandingkan dengan aktivitas pada pertemuan pertama yaitu dengan persentase 83,05% yang tergolong aktif. Pada pertemuan kedua ini siswa membahas tentang cara penggunaan alat ukur panjang yaitu mistar, jangka sorong, mikrometer skrup, siswa bersama dengan kelompoknya memperhatikan penjelasan guru dalam mendemonterasikan alat peraga tersebut. Setelah memperhatikan penjelasan guru siswa bersama kelompoknya melakukan percobaan pengukuran dengan menggunakan alat peraga, Selama proses percobaan berlangsung siswa dapat mengetahui bagaimana menggunakan alat ukur panjag yaitu mistar dengan ketelitian 1mm, jangka sorong dengan ketelitian 0.1 mm dengan bagian-bagian jangka sorong yang terdiri dari rahang geser, rahang luar, nonius, dan skala utama. Siswa dapat mempraktekan cara penggunaan mikrometer sekrup yang mempunyai ketelitian 0,01mm dengan bagian - bagian mikrometer sekrup yang terdiri dari selubung ulir, skala utama, selubung luar, roda bergerigi. Dengan penerapan pendekatan kelompok menggunakan konsep belajar tuntas, siswa dapat belajar dari seluruh materi pelajaran yang sudah diajarkan secar terkonsep dan siswa dapat bekerja sama dalam suatu kelompok untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam materi pelajaran secara bersama-sama sehingga kebersamaan dalam belajar dapat tercapai dengan baik, selain itu juga dapat memberi semangat dan memberi rasa tidak malu dan takut antar sesama siswa sehingga aktifitas belajarpun meningkat dengan baik
4.3.2 Data Tes
Dari hasil analisis data tes diperoleh hasil belajar berupa kemampuan siswa dalam mengerjakan soal-soal tes akhir yang diperoleh siswa setelah penerapan pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas pada mata pelajaran IPA adalah baik dengan rata-rata nilai siswa 79,2. Masih terdapat 10 orang siswa yang nilainya < 75 dikatakan belum mencapai ketuntasaan dalam belajar. Hal ini terjadi karena:
a. pendekatan kelompok menggunakan konsep belajar tuntas merupakan model pembelajaran yang sudah ada pada tahun 1920-an dan mulai memudar pada tahun 1930-an, tetapi bagi siswa yang selama ini belajar hanya menggunakan metode yang itu-itu saja belajar tuntas disini merupakan sesuatu yang baru bagi siswa, sehingga siswa perlu penyesuaian diri untuk menggunakan konsep pembelajaran ini.
b. pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas ini menuntut siswa bisa bekerja sama dalam suatu kelompok untuk bisa mengatasi masalah-masalah dalam kegiatan belajar-mengajar, kemudian konsep belajar tuntas disini menuntut siswa agar dapat menguasai materi yang sudah diajarkan, tingkat penguasaan materi berkaitan erat dengan waktu yang dibutuhkan siswa untuk belajar, lamanya siswa mau belajar sangat menentukan kegiatan penguasaan materi, kualitas penyajian materi pelajaran harus benar-benar baik sehingga penguasaan materi dapat tercapai dengan baik, dan kemampuan menangkap bahan sajian merupakan sesuatu yang sangat penting dan harus dikuasai siswa dengan konsentrasi yang baik.
c. pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas ini cara penyampaian materi pelajarannya harus multi metode tidak boleh hanya satu metode saja, alat-lat pembelajaran seperti buku pelajaran, alat peraga harus terencana dengan baik dan lengkap, sedangkan selama ini siswa mengalami keterbatasan alat peraga sehingga harus berbagi menunggu giliran dari kelompok yang sudah menyelesaikan tugas ke kelompok yang belum menyelesaikan tugas, sehingga dalam kegiatan kelompok hanya dua atau tiga orang saja yang mengerjakan tugas tersebut, tidak terasa waktu untuk belajar terkadang habis untuk menunggu giliran dari setiap kelompok untuk memakai alat peraga dalam mengerjakan tugas tersebut.
Dari tabel 11 dapat dilihat hasil belajar siswa sesudah remidial tes akhir. Terdapat 10 siswa yang tadinya belum mencapai ketuntasan dalam belajar pada saat tes akhir dan setelah diadakan remidial, 10 siswa tersebut mengalami ketuntasan dalam belajar. Selama kegiatan remidial siswa yang diremidial diberikan materi ulang membahas materi-materi yang belum dikuasai. Setelah seluruh materti ulang dibahas dan diberikan dengan baik maka diadakan tes akhir, dan dapat dilihat tidak ada lagi siswa yang mendapat nilai < 75 dan dikatakan 10 siswa tersebut tuntas dalam belajar.
Hasil pembelajaran siswa secara berkelompok dapat dikatakan “sangat baik”, nilai rata-rata seluruh kelompok adalah 93,75. Adapun kriteria penilaian kelompok yang dinilai adalah kekompakan dalam kelompok, melakukan pembuktian dengan percobaan, bertanya apabila ada yang tidak mengerti, membuat kesimpulan bersama-sama, dan menjawab pertanyaan teman dengan benar dan tepat (kriteria penilaian setiap kelompok dapat dilihat pada lampiran).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep belajar tuntas merupakan salah satu konsep pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Ini terlihat dari persentase aktivitas belajar siswa yang baik terutama pada aktivitas visual yakni 84,99% dan aktivitas menulis juga dikatakan baik yakni 77,08%. Walaupun masih ada beberapa siswa tidak memunculkan deskriptor dalam tiap indikator tetapi rata-rata persentase seluruh indikator sudah dikategorikan baik yaitu 82,35%. Dari data analisis data tes individu diperoleh rata-rata nilai siswa 79,2 yang dapat dikategorikan baik dan hasil pembelajaran secara berkelompok sangat baik dengan rata-rata nilai seluruh kelompok sebesar 93,75. Berdasarkan data hasil tes dan observasi, pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas baik diterapkan pada mata pelajaran IPA, khususnya pada pembelajaran fisika karena siswa dapat belajar dengan baik dari seluruh materi pelajaran yang sudah diberikan oleh seorang guru dengan baik, dan juga materi disusun secara terkonsep berdasarkan unit-unit kecil meliputi standar kompetensi, kompetensi dasar, alokasi waktu, indikator, tunjuan pembelajaran, materi pelajaran, metode pembelajaran, sumber belajar yang terencana dengan baik. Siswapun tinggal mengikuti pelajaran dengan konsenterasi yang tinggi untuk mendapatkan pengusaan materi pelajaran dengan baik, kerjasama kelompokpun berjalan dengan baik setiap kelompok mampu berdiskusi, mengutarakan pendapat, saling bertanya dalam mengatasi masalah-masalah pelajaran, saling membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar. Siswa yang belum mengerti tidak malu untuk bertanya materi pelajaran kepada temannya dan siswa yang sudah mengertipun mau membantu temannya yang mengalami kesulitan belajar sehingga kerjasama dan kebersamaan dalam kelompokpun dapat tercapai, kemampuan dalam mengutarakan pendapat memicu semangat belajar dalam kelompok bersaing dengan kelompok lain dan setiap individu memiliki semangat untuk meningkatkan hasil belajarnya.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa:
1. aktivitas siswa pada saat penerapan pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas sudah baik. Ini terlihat dari persentase masing-masing indikator aktivitas, yaitu aktivitas visual sebesar 84,99%, aktivitas menulis 77,08%, dan aktivitas lisan 84,99%.
2. hasil belajar siswa secara individu setelah penerapan pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas pada mata pelajaran IPA pokok bahasan pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan termasuk kategori baik dengan rata-rata nilai siswa sebesar 79,2. Masih ada beberapa siswa yang belum mencapai target, tetapi setelah diadakan perbaikan atau remidial seluruhnya dapat mencapai target dengan rata-rata nilai sebesar 83,5. Hasil pembelajaran secara berkelompok sangat baik dengan rata-rata nilai seluruh kelompok sebesar 93,75
5.2 Saran
Berdasarkan manfaat yang ada dalam penelitian ini, peneliti menyarankan kepada guru yang mengajar di SMP Negeri 30 Palembang, khususnya mata pelajaran IPA dapat mencoba pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas. Pendekatan ini juga dapat digunakan model pembelajaran IPA sehingga dapat meningkatkan nilai rata-rata siswa. Bagi peneliti selanjutnya dapat menyiapkan media dan alat-alat pembelajaran dengan lengkap, dapat mengatur waktu dalam penerapan model ini agar lebih terampil lagi sehingga keterampilan siswa dalam kelompok dapat terlaksana secara maksimal.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sekolah merupakan tempat berlangsungnya proses belajar mengajar secara formal. Proses belajar mengajar adalah suatu kegiatan pelaksanaan kurikulum suatu lembaga pendidikan agar dapat mempengaruhi siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam mencapai tujuan tersebut, sekolah harus benar-benar memperhatikan beberapa aspek baik yang bersifat fisik maupun non fisik yang merupakan penunjang dalam mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh dan bertanggung jawab.
Proses pembelajaran merupakan suatu rangkaian di dalam kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan yang paling pokok dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah. Ini berarti bahwa berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan yang telah digariskan sangat bergantung pada bagaimana proses pembelajaran tersebut dirancang, serta bagaimana pula kesiapan sebagai peserta didik dalam menerima dan melaksanakan proses pembelajaran.
Dalam meningkatkan mutu pendidikan salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan penyempurnaan kurikulum. Pemerintah melakukan perubahan kurikulum, seperti kurikulum 1994 diimiplementasikan pemerintah karena dipandang perlu dilakukan berbagai perkembangan dan perubahan. Sejak tahun 2001 Depdiknas melakukan serangkaian kegiatan untuk menyempurnakan kurikulum 1994, sehingga berubah menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dimana drafnya berlaku pada tahun ajaran 2004/2005. Namun, lahirnya undang-undang No.2 Tahun ajaran 2003 dan peraturan pemerintah No.19 Kurikulum ini disesuaikan kembali mulai tahun 2006/ 2007, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) berubah menjadi kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Mulyasa, 2008: 8).
Belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif yang mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dan anak didik. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan, diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan. Guru dengan sadar merancang kegiatan pengajaran secara sistematis dengan memanfaatkan segala sesuatunya guna kepentingan pengajaran. Harapan yang tidak pernah sirna dan selalu guru tuntut adalah bagaimana bahan pelajaran yang disaimpaikan guru dapat dikuasai oleh anak didik secara tuntas. lni merupakan masalah yang cukup sulit yang dirasakan oleh guru. Kesulitan ini dikarenakan anak didik bukan hanya sebagai individu dengan segala keunikannya, tetapi mereka juga sebagai makhluk sosial dengan latar belakang yang berlainan.
Guru sebagai komponen yang penting dari tenaga kependidikan, mempunyai tugas yang penting untuk melaksanakan pembelajaran. Dalam pelaksanaan pembelajaran guru akan menemukan berbagai masalah baik itu berasal dari siswa, sekolah, lingkungan sekitar maupun berasal dari cara guru itu sendiri dalam mengolah pembelajaran. Dari semua permasalahan tersebut, salah satu upaya untuk mengatasinya yaitu dengan menggunakan strategi pembelajaran yang tepat dan para guru paham tentang setrategi pembelajaran serta tahu cara menerapkannya pada peserta didik.
Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu ganis-ganis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan. ( Djamarah dan Zain, 2006:5 ). Dari pengertian tersebut penulis dapat mengartikan strategi adalah pedoman dalam menentukan cara menggunakan sumber daya yang ada untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan.
Banyak sekali strategi pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran salah satunya adalah strategi belajar tuntas. Adapun pengertian strategi belajar tuntas adalah suatu filsafat yang mengatakan bahwa dengan sistem pengajaran yang tepat semua siswa dapat belajar dengan hasil yang baik dari hampir seluruh materi pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Disisi lain juga dikatakan strategi belajar tuntas merupakan proses belajar mengajar yang bertujuan agar bahan ajaran dikuasai secara tuntas, artinya dikuasai sepenuhnya oleh siswa (http:/aenul.wordpress.com/2008/05/08/un dan-konsep-belajar-tuntas/). Belajar tuntas disini dapat diartikan dengan sistem pengajaran yang tepat semua siswa dapat belajar dengan hasil yang baik dari hampir seluruh materi pelajaran yang diajarkan di sekolah.
SMP Negeri 30 Palembang merupakan sekolah negeri yang sistem pembelajarannya masih konvensional, dimana penerapan strategi pembelajarannya sangat bervariasi yaitu Eksperimen, demontrasi, ceramah, tanya jawab dan penugasan.
Namun dalam penyampaiannya, guru mata pelajaran sering kali menggunakan strategi pembelajaran yang itu-itu saja sehingga terlihat monoton dan siswa kadang-kadang mulai terlihat bosan walaupun pada dasarnya semua siswa tersebut sudah cukup mengerti dengan apa yang disampaikan guru mereka. Kejenuhan akan strategi yang monoton atau itu-itu saja membuat siswa menjadi malas untuk belajar. Oleh karena itu, peneliti mencoba untuk melakukan eksperimen pada proses pembelajaran dengan mengunakan konsep belajar tuntas, dimana hal ini diharapkan dapat menambah motivasi dan meningkatkan hasil belajar siswa.
Untuk mengetahui apakah konsep belajar tuntas dapat diterapkan secara efektif atau tidak dalam meningkatkan hasil belajar IPA Fisika dan ada tidaknya pengaruh konsep belajar tuntas terhadap hasil belajar IPA Fisika, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Penerapan Pendekatan Kelompok (Group Based Approach) Menggunakan Konsep Belajar tuntas (Mastery learning) Pada Mata Pelajaran IPA Fisika Di SMP Negeri 30 Palembang”.
2. Masalah Dan Pembatasan Masalah
2.1 Masalah
Sugiyono ( 2008:52 ) mengemukakan, masalah adalah “penyimpangan antara yang seharusnya dengan apa-apa yang benar-benar terjadi, antara teori dengan praktek, antara aturan dengan pelaksanaan, antara pelaksanaan dengan pelaksana”. Selain itu juga (stoner dalam sugiono, 2005:52 ) mengatakan bahwa masalah-masalah dapat diketahui atau dicari apabila terdapat penyimpangan antara pengalaman dengan kenyataan, adanya pengaduan, dan kompetensi.
Berdasarkan latar definisi tersebut, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah penerapan pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas pada mata pelajaran IPA Fisika siswa kelas VII SMP Negeri 30 Pelembang?”.
2.2 Pembatasan Masalah
Untuk menghindari konsepsi dan penafsiran yang berbeda dari pembaca, maka dari judul peneliti ini penulis memberikan batasan-batassan sebagai berikut:
1. penerapan yang dimaksud dalam peneliti ini adalah melaksanakan pendekatan
kelompok dengan mengunakan konsep belajar tuntas terhadap hasil belajar siswa.
2. konsep belajar tuntas merupakan proses belajar mengajar yang bertujuan agar bahan ajaran dikuasai secara tuntas, artinya dikuasai sepenuhnya oleh siswa dengan bimbingan seorang guru.
3. pembelajaran merupakan suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur mencapai tujuan pembelajaran.
4. hasil belajar disini yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil tes yang diberikan kepada siswa setelah pokok bahasan selesai diajarkan.
5. pokok bahasan yang diteliti adalah Pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan
6. siswa yang diteliti adalah siswa kelas VII.4 SMP Negeri 30 Palembang tahun pelajaran 2009/2010.
3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. untuk mengetahui hasil belajar IPA Fisika siswa kelas VII.4 SMP Negeri 30 Palembang setelah dilakukan penerapan pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas, dan untuk mengetahui apakah ketuntasan belajar dapat tercapai ?
2. untuk mengetahui peningkatan motivasi belajar siswa dengan menerapkan pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas pada materi Pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan di SMP Negeri 30 Palembang
4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain dapat:
1. Bagi peneliti
Dapat menambah pengetahuan peneliti selama meneliti di lapangan. Selain itu juga dapat mengetahui sejauh mana penerapan pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas terhadap hasil belajar.
2. Bagi guru
Menjadi sumbangan pikiran untuk Guru SMP Negeri 30 Palembang, khususnya guru mata pelajara Fisika, tentang konsep belajar tuntas.
3. Bagi siswa
Diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar mereka, Khususnya pada mata pelajaran IPA Fisika.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pendekatan Pembelajaran
Langkah memilih pendekatan ini sebenarnya bisa lebih tepat ditempatkan setelah peneliti menentukan dengan tegas variabel peneliti. Dalam hal ini peneliti berpendapat bahwa antara penentuan variabel penelitian dan memilih pendekatan sebenarnya dilakukan maju mundur, bolak-blik. Variabel peneliti memang sangat menentukan bentuk atau jenis pendekatan. Namun, jelas pendekatan juga tidak dapat diabaikan peranannya dalam menentukan perincian variabel secara teliti. Oleh karena itu, hanya karena alasan bahwa dua hal tersebut tidak dapat dibicarakan sekaligus, dan yang satu harus yang lain, maka pembicaraan masalah pendekatan ini harus didahulukan. Dalam mengajar guru harus pandai menggunakan pendekatan secara arif dan bijaksana, bukan sembarangan yang bisa merugikan anak didik.
Pandangan guru terhadap anak didik akan menentukan sikap dan perbuatan. Setiap guru tidak selalu mempunyai pandangan yang sama dalam menilai anak didik. Hal ini akan mempengaruhi pendekatan yang guru ambil dalam pelajaran. (Djamarah dan Zain, 2006:54) Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran diantaranya adalah:
1. Pendekatan Individu
2. Pendekatan Kelompok
3. Pendekatan Bervariasi
4. Pendekatan Edukatif
5. Pendekatan Keagamaan
6. Pendekatan Kebermaknaan
2.1.1 Pendekatan Individu
Perbedaan individual anak didik yang berbeda-beda memberikan wawasan kepada guru bahwa strategi pengajaran harus memperhatikan perbedaan anak didik pada aspek individu. Dengan kata lain, guru harus melakukan pendekatan individual dalam strategi belajar mengajar. Bila tidak maka konsep belajar tuntas atau mastery learning yang menuntut penguasaan penuh kepada anak didik tidak pernah menjadi kenyataan. Paling tidak dengan pendekatan individual dapat diharapkan kepada anak didik dengan penguasaan optimal.
Pendekatan individual mempunyai arti yang sangat penting dalam pengajaran. Disini dapat dicontohkan dalam suatu pengelolaan kelas dan memilih metode pembelajaran tidak boleh begitu saja tetapi harus memperhatikan pendekatan individu. Dalam memilih metode itu, guru harus tahu dengan anak didiknya yaitu harus melakukan pendekatan dengan anak didiknya sehinga nantinya proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan mencapai ketuntasan belajar. Persoalan kesulitan belajar anak lebih mudah dipecahkan dengan mengunakan pendekatan individu, walaupun nantinya pendekatan kelompok diperlukan.
2.1.2 Pendekatan Kelompok
Pendekatan kelompok merupakan suatu pendekatan yang sangat diperlukaan dalam kegiatan belajar mengajar. Pendekatan kelompok sangat diperlukan dalam membina dan mengembangkan sikap sosial anak didik. Hal ini disadari bahwa anak didik adalah sejenis makhluk homo socius, yakni makhluk yang berkecenderungan untuk hidup bersama.
Dengan pendekatan kelompok, diharapkan dapat ditumbuh kembangkan rasa sosial yang tinggi dari diri setiap anak didik. Mereka dibina agar tidak ada sikap egois pada diri mereka masing-masing, sehingga dibina sikap kesetia kawanan sosial di kelas. Tidak ada makhluk hidup yang berdiri sendiri secara terus-menerus tanpa bantuan makhluk lain. Anak didik dibiasakan hidup bersama, bekerja sama dalam kelompok, akan menyadari bahwa dirinya ada kekurangan dan kelebihan. Yang mempunyai kelebihan dengan ikhlas mau membantu mereka yang mempunyai kekurangan. Sebaliknya mereka yang mempunyai kekurangan dengan rela hati mau belajar dari mereka yang mempunyai kelebihan, tanpa minder. Persaingan pun diharapkan terjadi di kelas dalam rangka mencapai prestasi belajar yang optimal. Inilah yang diharapkan anak didik yang aktif, kreatif dan mandiri. Ketika guru mengunakan pendekatan kelompok, maka guru harus sudah mempertimbangkan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan tujuan, fasilitas belajar pendukung, metode yang akan dipakai sudah dikuasai, dan bahan yang akan diberikan kepada anak didik memang cocok didekati dengan pendekatan kelompok. Karena itu, pendekatan kelompok tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi harus mempertimbangkan hal-hal yang ikut mempengaruhi pengunaannya.
Dalam pengelolaan kelas, terutama yang berkenaan dengan penempatan anak didik, pendekatan kelompok sangat diperlukan. Perbedaan individual pada aspek biologis, intelektual, dan psikologis dijadikan sebagai landasan dalam melakukan pendekatan kelompok. Beberapa pengarang mengatakan, keakraban atau kesatuan kelompok ditentukan oleh tarikan-tarikan interpersonal, atau saling menyukai satu sama lain. Yang mepunyai kecenderungan menamakan keakraban sebagai tarikan kelompok merupakan satu-satunya faktor yang menyebabkan kelompok bersatu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan kelompok merupakan pendekatan yang sangat penting dalam kegiatan belajar-mengajar. Dengan pendekatan kelompok ini kita dapat membina sikap anak didik agar mempunyai jiwa sosial yang tinggi, karena anak didik disini merupakan makhluk homo socius yang berkecenderungan hidup bersama. Dalam hal ini diperlukan suatu kerjasama. Salah satunya adalah membentuk kelompok. Kelompok disini harus benar-benar memperlihatkan keakaraban, kerjasama yang kuat demi mencapai suatu keberhasilan dalam kegiatan belajar-mengajar.
2.1.3 Pendekatan Bervariasi
Pendekatan bervariasi bertolak dari konsepsi bahwa permasalahan yang dihadapi oleh setiap anak didik dalam belajar bermacam-macam. Setiap masalah yang dihadapi anak didik tidak selalu sama, terkadang ada perbedaan, maka secara tidak langsung dalam kegiatan belajar mengajar guru akan dihadapkan dengan permasalahan anak didik yang bervariasi. Dalam mengajar, guru yang hanya menggunakan satu metode biasanya sukar menciptakan suasana kelas yang kondusif dalam waktu relatif lama. Bila terjadi perubahan suasana kelas yang kondusif dalam waktu relatif lama. Ini sebagai tanda adanya gangguan dalam proses belajar mengajar. Akibatnya, jalannya pelajaran kurang menjadi efektif. Efisien dan efektivitas pencapaian tujuan pun jadi terganggu, disebabkan anak didik kurang mampu berkonsenterasi. Permasalahan yang dihadapi oleh setiap anak didik biasanya bervariasi, maka pendekatan yang digunakan pun akan lebih tepat dengan pendekatan bervariasi.
2.1.4. Pendekatan Edukatif
Pendekatan edukatif merupakan pendekatan yang benar bagi guru untuk mendidik anak didik. Setiap tindakan, sikap, dan perbuatan yang guru lakukan harus bernilai norma susila, norma moral, norma sosial, dan norma agama. dengan demikian, semua pendekatan yang dilakukan guru harus bernilai edukatif, dengan tujuan mendidik. Tindakan guru karena dendam, marah, kesal, benci, dan sejenisnya bukanlah termasuk perbuatan mendidik, karena apa yang guru lakukan itu menurut kata hati atau untuk memuaskan hati.
2.1.5 Pendekatan Keagamaan
Pendekatan agama adalah pendekatan yang sangat penting digunakan dalam kegiatan belajar-mengajar khususnya untuk mata pelajaran umum. Hal ini dimaksud agar nilai budaya ilmu itu tidak sekuler, tetapi menyatu dengan nilai agama. Pendekatan agama dalam pembelajaran diharapkan dapat membantu guru dalam memperkecil kerdilnya jiwa agama di dalam diri siswa, yang pada akhimya nilai-nilai agama tidak dicemooh dan dilecehkan, tetapi diyakini, dipahami, dihayati, dan diamalkan selama hayat siswa dikandung badan.
2.1.6 Pendekatan Kebermaknaan
Pendekatan kebermaknaan merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengungkapkan suatu makna. Bahasa merupakan alat untuk mengungkapkan makna yang diwujudkan melalui struktur (tata bahasa dan kosakata) dengan demikian, struktur berperan sebagai alat pengungkap makna (gagasan, pikiran, pendapat, dan perasaan) pendekatan kebermaknaan ditentukan oleh lingkup situasi yang merupakan konsep dasar dalam pendekatan kebermaknaan pengajaran bahasa yang natural. Makna dapat diwujudkan melalui kalimat yang berbeda, baik secara lisan maupun tertulis. Suatu kalimat dapat mempunyai makna yang berbeda tergantung pada situasi saat kalimat itu di gunakan.
2.2 Sistem Pembelajaran
Istilah sistem adalah suatu konsep yang abstrak, Definisi tradisional menyatakan sistem adalah seperangkat komponen atau unsur yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan. Rumusan itu sangatlah sulit dipahami. Dalam arti yang luas, suatu sistem yang muncul karena seseorang yang telah mendefinisikan demikian, Suatu sistem dapat pula menjadi suatu sistem yang lebih komplek. Itu berarti adanya suatu sistem karena itu mempertimbangkan sebagai sistem, begitu pula halnya dengan sistem pengajaran.
Hamalik menyebutkan pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran ( Hamalik, 2009:57 ). Ada beberapa komponen yang harus dipenuhi dalam sistem pengajaran, dapat disebutkan lima komponen utama yaitu : tujuan, bahan , alat, metode dan penilaian. Kelima komponen ini tidak dapat berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya.
Dengan demikian, dengan adanya penggabungan antara komponen-komponen pengajaran oleh guru diharapkan tumbuhnya kegiatan belajar yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dapat dicapai dengan seefektif mungkin sehinga pembelajaran pun dapat mengalami ketuntasan dalam belajar.
2.3 Konsep Belajar Tuntas
Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman ( Hamalik, 2009:36 ) menurut pengertian ini, belajar adalah suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari pada itu, yakni mengalami. Selain itu juga belajar dapat diartikan suatu poroses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi melalui lingkungan.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses atau kegiatan yang dilakukan suatu individu untuk mencari dan mengungkap apa yang belum tahu sehigga menjadi tahu.
Konsep belajar tuntas adalah suatu filsafat yang mengatakan bahwa dengan sistem pengajaran yang tepat semua siswa dapat belajar dengan hasil yang baik dari hampir seluruh materi pelajaran yang diajarkan di sekolah ( Subroto, 2009:81 ). Pandangan ini jelas menolak pandangan yang mengatakan bahwa tingkat keberhasilan siswa di sekolah sangat ditentukan oleh tingkat kecerdasan bawaannya atau IQ-nya. Belajar tuntas ini sebenarnya sudah ada sejak enam puluh tahun yang lalu tatkala ( Burn dan Mirnision dalam subroto, 2009:81 ) mengembangkan suatu sistem pengajaran sehingga semua siswa diharapkan dapat menguasai sejumlah tujuan pendidikan.
Bahan pelajaran yang digunakan sebagai wahana untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut dibagi atas unit-unit. Setiap unit terdiri dari bahan-bahan pelajaran yang diurutkan secara singkat sistematik yang mudah ke bahan yang sukar. Setiap siswa diharuskan menguasai satu unit pelajaran sebelum diperbolehkan untuk mempelajari unit pelajaran berikutnya. Bagi siswa yang gagal menguasai satu unit pelajaran tertentu harus diberikan unit pelajaran perbaikan. Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa belajar tuntas merupakan suatu pandangan yang mengatakan dengan sistem pengajaran yang baik, tepat dan sesuai dengan kondisi siswa maka semua materi pelajaran yang sudah diberikan dapat dikuasai siswa dengan baik.
Ada 4 cara yang digunakan dalam perbaikan pada konsep belajar tuntas (Morrision dalam Subroto, 2009: 81) yaitu:
1. mengulang kembali mengajar bahan pelajaran.
2. menuturkan siswa.
3. menyusun kembali aktivitas belajar siswa.
4. mengadakan perbaikan terhadap kebiasaan siswa dalam cara belajarnya.
Ide belajar tuntas tersebut memudar pada tahun 1930an. Hal ini disebabkan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang menunjang keberhasilan strategi belajar mengajar tersebut. Belajar tuntas baru mendapat perhatian lagi setelah para ahli pendidikan dan ahli psikologi pendidikan mengadakan penelitian mengenai perkembangan anak didik, tingkah laku manusia, hierarki belajar. dan lain-lain.
Dipandang dari sudut pendidikan memang cara belajar mengajar dengan menggunakan prinsip belajar tuntas sangatlah menguntungkan siswa karena hanya dengan cara tersebut setiap siswa dapat dikembangkan semaksimal mungkin.
Pandangan yang menyatakan semua siswa dapat belajar dengan hasil yang baik juga akan mempunyai imbas pada pandangan bahwa semua guru dapat mengajar dengan baik, karena itu, pengertian mengenai belajar tuntas dirasakan perlu untuk dimantapkan.
Dapat juga disimpulkan bahwa belajar tuntas dapat memberikan kemudahan bagi siswa untuk menguasai seluruh materi pelajaran dengan baik, sehingga nantinya siswa dalam menghadapi tes dapat menjawab seluruh soal dengan baik.
2.3.1 Ide Lahinya Belajar Tunas
Perkembangan yang pesat dalam dunia pendidikan pada abad ke-20 ini membawa kita untuk mempertimbangkan suatu pandangan tentang kemampuan siswa yang dapat ditingkatkan semaksimal mungkin dengan usaha yang efektif dan efisien.
Salah satu pandangan tentang kemampuan siswa tersebut dikemukakan ( Carrol dalam Subroto : 2009, 83 ) pada tahun 1963 berdasarkan penemuannya mengenai model belajar yaitu “Model of School Learning”. Model ini menguraikan faktor-faktor pokok yang mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Ia menyatakan bahwa bakat siswa untuk suatu pelajaran tertentu dapat diramalkan dari waktu yang disediakan untuk mempelajarinya dan atau waktu yang dibutuhkan untuk belajar untuk mencapai tingkat penguasaan tertentu. Dalam hal ini bakat bukan diartikan sebagai kapasitas belajar tetapi sebagai kecepatan belajar atau laju belajar. Ini berarti bahwa siswa yang berbakat tinggi akan dapat menguasai bahan dengan cepat sedangkan siswa yang berbakat rendah akan menguasai bahan dengan lambat. Dengan perkataan lain ( Carrol dalam Subroto: 2009, 84 ) “mendefinisikan bakat seseorang sebagai waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari suatu bahan pelajaran yang diberikan kepadanya sehingga mencapai tingkat penguasaan yang ditetapkan/ ditentukan”. Jadi, apabila siswa memerlukan 10 jam untuk menguasai dengan tuntas bahan pelajaran, tetapi ternyata ia hanya menggunakan 8 jam untuk belajar maka pada dasarnya ia hanya akan mencapai 80% penguasaan terhadap bahan yang dipelajarinya.
Carrol dalam Subroto (2009:84 ) berpendapat bahwa tingkat penguasaan bahan adalah fungsi dari waktu yang digunakan secara sungguh-sungguh untuk belajar dan waktu yang benar-benar dibutuhkan untuk mempelajari suatu bahan pelajaran.
Tingkat penguasaan =
Makin lama siswa menggunakan waktu secara sungguh-sungguh untuk belajar, makin tinggi tingkat penguasaan terhadap bahan yang dipelajarinya. Dalam kondisi belajar tertentu, waktu yang digunakan untuk belajar dan waktu yang dibutuhkan untuk menguasai bahan pelajaran tidak saja dipengaruhi oleh sifat individu tetapi juga oleh karakteristik dari pengajaran.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan waktu belajar yang digunakan ditentukan oleh lamanya siswa mau mempelajari suatu bahan dan waktu yang disediakan atau dialokasi. Sedangkan waktu yang dibutuhkan ditentukan oleh bakat siswa, kualitas pengajaran dan kemampuan siswa untuk menangkap bahan sajian ini dekat hubungannya dengan intelegensi umum siswa.
Dengan demikian secara lengkap model Carrol dalam Subroto (2009:85 ) dapat dirumuskan sebagai berikut :
Model J.B. Carrol yang masih bersifat konseptual ini kemudian diubah oleh Bloom dalam Subroto (2009:85 ) menjadi model yang operasional. Benyamin S. Bloom menyatakan apabila bakat siswa terdistribusi secara normal dan kepada mereka diberikan cara penyajian dengan kualitas yang sama dan waktu belajar yang sama maka hasil belajar yang dicapai akan terdistribusikan secara normal pula. Di sini korelasi antara bakat dan hasil yang dicapai sangat tinggi. Tetapi apabila bakat siswa terdistribusi secara normal dan setiap siswa atau individu diberikan cara penyajian yang optimal dan waktu belajar sesuai yang dibutuhkan siswa maka tingkat penguasaan bahan yang tinggi. Dalam hal ini korelasi antara bakat dan hasil belajar dapat dikatakan tidak ada.
Bloom dalam Subroto (2009:85 ) menyarankan untuk menggunakan atau memasukan ide atau gagasan model belajar mengajar ini ke dalam kelas, dimana waktu belajar yang disediakan atau dialokasikan dapat dikatakan telah tetap dan pasti. Dalam hal ini, tingkat penguasaan dapat disamakan dengan tingkat penguasaan tujuan-tujuan intruksional yang esensial setelah selesai mempelajari suatu bahan pelajaran atau setelah melalui proses belajar-mengajar.
Block dalam Subroto (2009:86 ) mengembangkan Model J.B. Carrol lebih operasional lagi. Ia mencoba untuk memperpendek waktu yang dibutuhkan oleh siswa untuk mempelajari suatu bahan pelajaran dalam waktu pengajaran yang telah dialokasikan dengan cara meningkatkan kualitas pengajaran dalam kelas.
2.3.2 Ciri-ciri Belajar Mengajar Dengan Prinsip Belajar Tuntas
Sistem belajar mengajar yang menggunakan prinsip belajar tuntas yang sekarang dilaksanakan mempunyai ciri-ciri yang tidak berbeda dengan ciri-ciri belajar tuntas yang ada pada tahun l920an sampai tahun 1930an. Ciri-ciri cara belajar mengajar dengan prinsip belajar tuntas antara lain adalah: (Subroto : 2009, 86)
1. Pengajaran didasarkan atas tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditentukan terlebih dahulu.
Ini berarti bahwa tujuan dari strategi belajar mengajar adalah agar hampir semua siswa dapat mencapai tingkat penguasaan tujuan pendidikan. Jadi, baik cara belajar mengajar maupun alat evaluasi yang digunakan untuk mengatur keberhasilan harus berhubungan erat dengan tujuan-tujuan pendidikan yang akan dicapai.
2. Memperhatikan perbedaan individu
Yang di maksud dengan perbedaan disini adalah perbedaan siswa dalam hal menerima rangsangan dari luar dan dari dalam dirinya serta laju belajarnya. Dalam hal ini pengembangan proses belajar mengajar hendaknya dapat disesuaikan dengan sensitivitas indra siswa. Jadi cara belajar mengajar yang hanya menggunakan satu macam metode dan satu macam media tidak dapat memberikan hasil yang diharapkan. Sebaliknya cara mengajar yang menggunakan multi metode dan multi media akan menghasilkan proses belajar yang bermutu dan relevan.
3. Evaluasi dilakukan secara kontinu dan didasarkan atas kriteria
Evaluasi dilakukan secara kontinu ( continous evaluation ) ini diperlukan agar guru dapat menerima umpan balik yang cepat/ segera, sestematis. Jadi, evaluasi dilakukan pada awal selama dan pada akhir proses belajar mengajar berlangsung. Evaluasi berdasarkan kriteria mengenal dua macam bentuk, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.
Scriven dalam Subroto (2009:87 ) berhasil membedakan kedua macam bentuk evaluasi ini. Tes keberhasilan yang diberikan pada akhir unit-unit pelajaran dimasukkan ke dalam kategori tes sumatif. Tes sumatif ini dimaksudkan untuk mengetahui penguasaan total terhadap suatu pelajaran yang diberikan. Tes formatif adalah tes yang digunakan selama siswa mempelajari bahan pelajaran untuk menguasai tujuan intruksional yang telah ditentukan.
Scriven dalam Subroto ( 2009:87 ) mengatakan evaluasi formatif mempunyai dua tujuan pokok:
a. untuk menemukan sampai seberapa jauh siswa telah menguasai bahan pelajaran. Dengan kata lain untuk menentukan bagian mana yang belum dikuasai siswa.
b. untuk melakukan penilaian cara mengajar yang direncanakan dan yang
diterapkan itu telah cukup baik atau masih memerlukan perbaikan,
Dapat disimpulkan pernyataan di atas bahwa penggunaan yang di bakukan dalam hal ini jelas tidak tepat digunakan dalam cara belajar mengajar dengan menggunakan prinsip belajar tuntas. Tes yang dibakukan lebih cocok digunakan untuk keberhasilan suatu kurikulum atau suatu program pendidikan. Ketidak cocokan tes yang di bakukan untuk belajar tuntas ini disebabkan karena nilai total yang didapat dan tes yang dibakukan tidak memberikan informasi yang tepat tentang keterampilan-keterampilan dan pengetahuan-pengetahuan apa yang belum dikuasai oleh siswa.
4. Menggunakan progaram perbaikan dan progaram pengayaan
Progaram perbaikan dan program pengayaan adalah sebagai akibat dari penggunaan evaluasi yang kontinu dan berdasarkan kriteria serta pandangan terhadap perbedaan kecepatan belajar mengajar siswa dan administrasi sekolah. Program perbaikan ditunjukan kepada mereka yang belum menguasai tujuan intruksional tertentu, sedangkan program pengayaan diberikan kepada mereka yang telah menguasai unit pelajaran yang diberikan.
5. Menggunakan prinsip siswa belajar aktif
Prinsip siswa belajar aktif memungkin siswa mendapatkan pengetahuan berdasarkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan sendiri. Cara belajar-mengajar demikian mendorong siswa untuk bertanya bila mengalami kesulitan, mencari buku dan sumber-sumber untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Selain itu prinsip siswa belajar aktif dapat mengembangkan keterampilan kognitif, keterampilan”manual” kreatifitas dan logika berfikir.
6. Menggunakan satuan pelajaran yang kecil
Cara belajar mengajar dengan menggunakan prinsip belajar tuntas menuntut pembagian bahan pengajaran menjadi unit yang kecil-kecil. Pembagian unit pelajaran menjadi bagian-bagian ini sangat diperlukan guna dapat memperoleh umpan balik secepat mungkin. Dengan demikian guru dapat melakukan usaha perbaikan sedini mungkin.
Unit-unit yang kecil tersebut haruslah disusun secara berurutan dari yang mudah sampai ke yang sukar. Dengan perkataan lain unit yang mendahului merupakan pra-syarat bagi unit selanjutnya. Penyusunan semacam ini akan mengurangi frekuensi pemberian tes pra-syarat. Secara ideal apabila dalam materi pelajaran yang terdapat dalam unit-unit pelajaran dapat disusun secara berurutan maka tes pra-syarat hanyalah diberikan pada setiap pemulaan semester. Tetapi dalam penelitian ini hanya mengambil pada satu pokok materi pelajaran IPA Fisika kelas VIII SMP. Yang prinsip belajarnya menggunakan pendekatan kelompok dengan mengunakan prinsip belajar tuntas.
2.3.3 Persiapan Mengajar Dengan Prinsip belajar Tuntas
Proyek penelitian pengembangan sistem pendidikan tidak dapat lepas sama sekali dengan sistem pendidikan yang berlaku sekarang. Hasil-hasil yang dicapai nantinya harus dapat digunakan tanpa banyak mengubah sistem administrasi dan struktur organisasi yang ada.
Untuk itu perlu disusun suatu stategi yang cocok untuk melaksanakan prinsip-prinsip belajar tuntas / ciri-ciri belajar tuntas. Strategi belajar tuntas dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu menentukan tujuan pengajaran dan tingkat menguasaan, dan persiapan pelaksanaan dengan prinsip belajar tuntas.
a. Menentukan tujuan pengajaran dan tingkat penguasaan
Tujuan instruksional atau tujuan pengajaran sebenarnya telah tercantum dalam garis-garis besar Program Pengajaran yang berlaku, dan tujuan instruksional yang masih umum kita harus dapat menjabarkan tujuan-tujuan operasional yang dapat diukur tingkat keberhasilannya. Tujuan-tujuan ini merupakan dasar bagi penyusun cara belajar mengajar dan tes. Jadi, tes tidak lain adalah suatu alat yang berfungsi untuk mengetahui sejauh mana siswa menguasai tujuan-tujuan intruksional setelah mereka mengalami proses belajar mengajar.
Sebelum mengembangkan tes, hendaknya dapat ditentukan terlebih dahulu tingkat penguasaannya atau standar ketuntasannya. Dengan cara demikian siswa akan berlomba-lomba, berkompetensi untuk mencapai standar ketuntasan yang telah ditentukan. Jadi dalam belajar setiap individu dilihat penampilannya berdasarkan tingkat penguasaan bahan yang telah tetap dan bukan dilihat penampilann yang didasarkan atas perbandingan teman-teman dalam suatu kelompok.
Adapun tujuan dan tingkat penguasaan pada materi pengukuran sub pokok bahasan besaran dan satuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Standar kompetensi : memahami prosedur ilmiah untuk mempelajari benda –benda alam dengan menggunakan peralatan.
2. Kompetensi dasar : mendeskripsikan besaran pokok dan besaran turunan
3. Indikator : mengidentifikasi besaran-besaran fisika dalam kehidupan sehari-hari kemudian mengelompokan dalam besaran pokok dan turunan, menggunakan satuan internasional dalam pengukuran, mengkonversi satuan panjang, massa, waktu secara sederhana.
4. Tujuan pembelajaran agar peserta didik dapat : mendefinisikan pengertian besaran, mengetahui tujuh besaran pokok yang ada dalam ilmu fisika, menjelaskan pengertian besaran pokok dan besaran turunan, mengetahui standar pengukuran yang baik, dapat menggunakan alat ukur panjang yaitu mistar, pita meter, jangka sorong, dan mikrometer sekrup, menjelaskan pengertian mengukur, mengetahui standar yang baik dalam mengukur panjang, tahu cara menggunakan alat ukur panjang, memahami pengukuran massa serta dapat menyebutkan alat-alat untuk mengukur massa, dan memahami pengukuran waktu serta menyebutkan alat-alat untuk mengukur waktu.
5. materi pembelajaran Pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan
6. Media charta
7. Sumber belajar yaitu buku Fisika kelas VII karangan Marthen Kanginan penerbit : Erlangga Jakarta.
b. Persiapan pelaksanaan
1. Menentukan pokok bahasan dan luas materi unit pelajaran-pelajaran setelah mengetahui tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam satu periode, tertentu. misalnya satu periode, tertentu, misalnya satu catuwulan atau satu semester maka ditentukanlah pokok-pokok bahasannya. Pokok-pokok bahasan ini kemudian ditentukan kedalam bahannya.( operasional pelaksanaan dapat dilihat pada halaman : 28-32 )
2. Merencanakan pengajaran
Untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan diperlukan rencana apa yang akan di ajarkan, bagaimana cara mengajarkan.Untuk maksud tersebut perlu juga pengajaran secara individu, pengajaran berbentuk kelompok atau berbentuk kiasikal.
Subroto (2009:91 ) Menyatakan dalam merencanakan topik pelajaran perlu diperhatikan:
a. kegiatan-kegiatan yang direncanakan hendaknya dapat dilakukan oleh siswa sendiri (siswa aktif belajar). Kegiatan yang harus dilakukan siswa yaitu dapat menjelaskan dan melakukan pengukuran dengan alat ukur, dapat memberikan contoh besaran yang ada dalam fisika kemudian mengelompokannya dalam besaran pokok dan besaran turunan.
b. dalam setiap kegiatan harus jelas dinyatakan apa yang harus dipelajari siswa dan bagaimana caranya. Kegiatan yang harus di pelajari Siswa yaitu tentang pengukuran, siswa harus mengerti dan tahu bagaimana cara menggunakan alat ukur panjang yaitu mistar, pita meter, jangka sorong, mikrometer sekrup dan tahu ketelitian masing-masing alat tersebut.
c. proses belajar mengajar harus direncanakan sehingga siswa dapat termotivasi baik pada awal, pada waktu proses belajar berlangsung maupun sesudahnya. Proses belajar mengajar akan dilakukan dengan dua kali pertemuan dengan diberikan tes pada akhir pertemuan.
d. pelajaran hendaknya di sajikan sehingga menarik perhatian siswa. Salah satu cara agar bahan pelajaran disajikan sehingga menarik perhatian siswa dengan memberikan contoh-contoh yang ada dalam kehidupan sehari-hari para siswa. Selain itu, hendaknya disajikan bahan pelajaran yang tidak terlalu sukar dan juga tidak terlalu mudah bagi siswa pada tingkat tertentu.
3. Merencanakan evaluasi
Sebelum melaksanakan tes sebagai suatu alat evaluasi perlu di buat kisi-kisi yang dapat menggambarkan keseluruhan materi yang dibahas dalam atu topik pelajaran. Berdasarkan kisi-kisi tersebut dan berdasarkan cara penyampaian bahan yang telah direncanakan itu dibuat alat evaluasi (tes formatif ) untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan mana yang masih belum dikuasai oleh siswa dan tujuan-tujuan mana yang sudah dikuasai siswa. Selain itu, hasil dan evaluasi ini hendaknya dapat menginformasikan bagian-bagian bahan mana yang lemah dan harus diperbaiki.
Dalam penelitian ini akan dilakukan tes akhir secara tertulis yang akan dilakukan setelah materi pelajaran selesai diajarkan.
4. Merancang program-program perbaikan
Dari evaluasi yang direncanakan akan didapat tujuan-tujuan yang belum dikuasai oleh siswa. Untuk maksud tersebut maka program perbaikan harus dilaksanakan sebaik mungkin. Program perbaikan yang direncanakan akan lebih efektif bila cara penyajian bahan, kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan siswa dan motivasinya berlainan dengan yang semula.
5 .Merencanakan program pengayaan
(Subroto 2009, 93 ) Memberikan bentuk progam pengayaan sebagai berikut:
1. Memperdalam atau pun memperluas konsep yang telah dipelajari dalam bahan pelajaran yang disajikan . pendalaman atau perluasan konsep ini tidak akan diajarkan unit pelajaran-unit pelajaran selanjutnya.
2. Menambah beberapa kegiatan-kegiatan yang belum terdapat dalam pelajaran pokok. Kegiatan-kegiatan ini dapat meliputi kegiatan yang menyangkut kegiatan sosial budaya yang tidak perlu ada kaitannya dengan topik pelajaran pokok maupun kegiatan yang masih berada dalam ruang lingkup pelajaran pokok.
Dengan demikian, pendekatan kelompok mengunakan konsep belajar tuntas, merupakan suatu langkah dalam pembelajaran didalam kelas yang tujuannya membiasakan siswa sebagai peserta didik untuk dapat melakukan kerjasama antara sesama anggota kelompok. Pendekatan kelompok mengunakan konsep belajar tuntas memiliki kecenderungan untuk tidak membedakan antara siswa yang satu dengan yang lain dan antara yang pandai dengan yang bodoh karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang perlu kerjasama, perlu bersosialisasi, perlu bantuan orang lain. Sehingga pelaksanaan pengajaran di kelas akan berjalan dengan lebih baik dan terarah.
Konsep belajar tuntas ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan yang sudah menjadi ciri dari setiap metode pembelajaran. keuntung atau kelebihan yang dimiliki oleh model belajar tuntas ini antara lain: (1) memungkinkan siswa belajar lebih aktif (2) strategi ini sejalan dengan pandangan pesikologi belajar modern yang berpegang pada prinsip perbedaan individual, belajar kelompok (3) strategi ini berorientasi kepada peningkatan produktivitas hasil belajar, yakni siswa menguasai bahan pelajaran secara tuntas, menyeluruh dan utuh (4) strategi ini, guru dan siswa diminta bekerjasama secara partisipatif dan persuasif, baik dalam proses belajar maupun dalam proses bimbingan terhadap siswa lainnya (5) penilaian yang dilakukan terhadap kemajuan belajar siswa mengandung unsur objektifitas yang tinggi sebab penilaian dilakukan oleh guru, rekan sekelas, dan diri sendiri, dan berlangsung secara berlanjut serta berdasarkan ukuran keberhasilan (6) pada hakekatnya, strategi ini tidak mengenal siswa yang gagal belajar atau tidak naik kelas karena siswa yang ternyata mendapat hasil yang kurang memuskan atau masih di bawah target dan hasil yang dihrapkan, terus-menerus di bantu oleh rekannya dan guru (7) pengajaran tuntas berdasarkan perencanaan yang sistemik, yang memiliki derajat koherensi yang tinggi dengan garis-garis besar program pengajaran bidang studi (8) strategi ini menyediakan waktu belajar yang cukup sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masing-masing individu siswa sehingga memungkinkan mereka belajar secara lebih leluasa (9) strategi belajar tuntas berusaha mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam strategi belajar mengajar lainnya, yang berdasarkan pendekatan kelas saja, atau kelompok saja, atau individualisasi saja (10) strategi ini mengaktifkan guru-guru sebagai suatu regu yang harus bekerja sama secara efektif sehingga kelangsungan proses belajar siswa dapat terjamin dan berhasil optimal (Ahmadi dan Prasetya, 2005:165-166).
Sedangkan kelemahan dari konsep belajar tuntas ini adalah sebagai berikut:
1. Strategi ini sulit dalam pelaksanaannya karena melibatkan berbagai kegiatan, yang berarti menuntut macam-macam kemampuan yang memadai.
2. Guru-guru umumnya masih mengalami kesulitan dalam membuat perencanaan belajar tuntas karena harus dibuat dalam jangka waktu satu semester disamping penyusunan satuan-satuan pelajaran yang lengkap dan menyeluruh.
3. Guru-guru yang sudah terbiasa dengan cara-cara lama akan mengalami hambatan untuk menyelenggarakan strategi ini yang relatif lebih sulit dan relatif masih baru.
4. Strategi ini sudah tentu memerlukan berbagai fasilitas, perlengkapan, alat, dana, dan waktun yang cukup besar, sedangkan sekolah-sekolah kita masih langka dalam segi sumber-sumber teknis seperti yang di harapkan.
5. Untuk melaksanakan strategi ini yang mengacu kepada penguasaan materi belajar secara tuntas pada gilirannya menuntut para guru agar menguasai materi tersebut secara lebih luas, menyeluruh, dan lebih lengkap. Hal itu menuntut para guru agar belajar lebih banyak dan menggunakan sumber-sumber yang lebih luas.
6. Diberlakukannya sistem ujian ( ebta dan ebtanas ) tetapi sekarang di ubah menjadi mid semester dan ujian semester yang menuntut penyelenggaraan program bidang studi pada waktu yang telah ditetapkan dan usaha persiapan para siswa untuk menempuh ujian, mungkin menjadi salah satu unsur penghambat pelaksanaan belajar tuntas yang diharapkan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas merupakan pola pembelajaran yang membina siswa dan guru untuk bekerjasama dalam proses belajar sehingga materi yang di berikan oleh seorang guru yang tersusun secara rapi, dengan waktu yang tepat, maka seluruh bahan ajar dapat dikuasai oleh siswa dengan sebaik mungkin sehingga ketuntasan dan hasil belajar dapat tercapai dengan baik.
2.3.4 Operasional Pendekatan Kelompok Dengan Konsep Belajar Tuntas
Adapun operasional pendekatan kelompok dengan konsep belajar tuntas dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :
TABEL. 1
Operasional Pendekatan Kelompok Dengan Konsep Belajar Tuntas
No Tahapan Siklus
Belajar Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
1. Orientasi • Menetapkan isi pembelajaran tentang pengukuran pada pokok bahasan besaran dan turunan
• Meninjau ulang pembelajaran sebelumnya yaitu pengertian fisika sebagai cabang ilmu sains
• Menetapkan tujuan pembelajaran yaitu dapat menjelaskan pengertian pengukuran, pengertian besaran, dapat menyebutkan dua besaran dalam fisika yaitu besaran pokok dan besaran turunan, dapat mengkonversi satuan, dapat mengunakan alat ukur panjang yaitu mistar, pita meter, jangka sorong, mokrometer sekrup, dapat menyebutkan alat ukur massa, dan waktu.
• Bertnya tentang isi pelajaran
• Mengingat kembali pembelajaran sebelumnya
• Memahami tujuan pembelajaran yang harus dicapai
No Tahapan Siklus
Belajar Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
• Menetapkan langkah-langkah pembelajaran yaitu
1. kegiatan Pendahuluan dengan
a. apersepsi/motivasi
Apa yang harus kita lakukan untuk mengetahui panjang sebuah meja, dan tinggi badan kita ?
b. Prasyarat
pengetahuan :
Apa yang
dimaksud besaran
?
Apa yang
dimaksud
besaran
pokok dan
besaran turunan ?
2. Kegiatan inti :
Membagi siswa
dalam kelompok,
menjelaskan
pengertian
pengukuran,
besaran, cara
mengkonversi
satuan,
memberikan
contoh
perhitungan
konversi satuan,
menjelaskan
bagai mana cara
menggunakan alat
ukur panjang
yaitu mistar, pita
meter, jangka
sorong, • Bertanya / mediskusikan langkah-langkah pembelajaran.
No Tahapan Siklus
Belajar Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
Mikrometer
sekrup,
menyebutkan alat
ukur massa dan
waktu.
3. Kegiatan penutup
Guru
menyimpulkan
materi yang sudah
di pelajari, guru
memberikan PR
yaitu.
1. jelaskan pengertian besaran !
2. sebutkan tujuh besaran pokok !
• sebutkan tiga besaran turunan
2. Penyajian • Menjelaskan / menerangkan materi pelajaran materi pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan
• Menggunakan media untuk menjelaskan materi pelajaran berupa media charta dan alat peraga mistar, jangka sorong dan mikrometer sekrup.
• Mengevaluasi unjuk kerja siswa berupa latihan yaitu : selesaikanlah soal konversi satuan di bawah ini !
1.1km =... • Memperhatikan, bertanya.
• Mendiskusikan, bertanya.
• Menjawab tes yang di berikan guru
No Tahapan Siklus
Belajar Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
3.
Latihan terstruktur 2. 1000 m = ....km
3. 2058 g =......g
4. 235 m =.....cm
• Guru memberikan contoh langkah-langkah penting dalam menyelesaikan soal misal :
1. 2,35 m = 2,35 (100) cm = 235 cm. Cara penyelesaian buat tangga konversi.
2. 0,05 km = 0,05 (1000) m = 50 m. Cara penyelesaian gunakan tangga konversi dimulai dari km, hm, dam, m, dm, cm, mm.
• Guru memberikan umpan balik (yang bersifat korektif) atas kesalahan siswa dan mendorong untuk menjawab dengan benar setiap tugas yang diberikan.
• Memperhat contoh soal yang di berikan guru.
• Mencermati umpan balik dari guru, Jika ada hal yang belum jelas bertanya lagi pada guru
No Tahapan Siklus
Belajar Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
4 Latihan terbimbing • Guru memberi tugas yaitu mengukur sebuah tutup tipex dengan jangka sorong
• Guru mengawasi semua siswa secara merata
• Guru memberikan umpan balik. Memuji, dan sebagainya tentang materi pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan.
• Siswa mengerjakan tugas dengan semi bimbingan
• Siswa mengerjakan tugas dengan semi bimbingan
• Mencermati umpan balik dari guru, jika ada hal yang belum jelas bertanya lagi pada guru.
5. Latihan kelompok • Guru memberi tugas secara kelompok yaitu:
1. jika sebuah jangka sorong memiliki skala utama 2,2 cm dan garis noniusnya ber himpit tepat pada garis skala utama adalah garis ke-5. tentukanlah panjang benda tersebut !
2. isilah titik-titik di bawah ini:
a. 200 cm = ...m
b. 20000km =..m
c. 7456 g =....kg
d. 1kg =.......mg
• Guru memeriksa dan jika perlu memberi umpan balik atas hasil kerja kelompk • Siswa mengerjakan tugas di kelas / di rumah secara kelompok.
• Mencermati umpan balik dari guru jika ada hal yang belum jelas bertanya lagi pada guru.
Dalam penelitian ini kegiatan dalam proses belajar mengajar dilakukan dengan pendekatan kelompok terhadap semua siswa. Dengan mengarahkan semua siswa untuk bekerja sama terhadap kelompoknya masing-masing. sehingga permasalahan yang dihadapi oleh siswa dapat diselesaikan dengan baik secara bersama-sama dan diharapkan ketuntasan dalam belajar dapat tercapai dengan baik. Adapun ketuntasan belajar dapat tercapai apabila siswa sudah mencapai 75% taraf penguasaan terhadap materi pelajaran yang sudah dipelajari (SuryoSubroto, 2009:101).
BAB III
PROSEDUR PENELITIAN
3.1 Variabel Penelitian
“Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang di tetapkan oleh peneliti, sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya” (Sugiyono, 2008:60).
Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu “Penerapan Pendekatan Kelompok (Group Based Approach) Dengan menggunakan Konsep Belajar Tuntas (Mastery Learning) Pada Mata Pelajaran IPA Fisika Di SMP Negeri 30 Palembang.”, maka yang menjadi variabel penelitian ini adalah pendekatan Kelompok (Group Based Approach) Dengan menggunakan Konsep Belajar Tuntas (Mastery Learning).
3.2 Definisi Operasional Variabel
Konsep belajar tuntas adalah suatu filsafat yang mengatakan bahwa dengan sistem pengajaran yang tepat semua siswa dapat belajar dengan hasil yang baik dari hampir seluruh materi pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Belajar tuntas disini mempunyai ketetapan ketuntasan dalam belajar yaitu 75% siswa harus mencapai taraf penguasaan materi pelajaran yang sudah dipelajari ( SuryoSubroto, 2009:101).
Pendekatan kelompok adalah pendekatan yang sangat penting dalam kegiatan belajar-mengajar. Dengan pendekatan kelompok ini kita dapat membina sikap anak didik agar mempunyai jiwa sosial yang tinggi, karena anak didik disini merupakan makhluk homo socius yang berkecenderungan hidup bersama. Dalam hal ini diperlukan suatu kerjasama. Salah satunya adalah membentuk kelompok.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung atau pun mengukur, kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya (Sudjana, 2005:6). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 30 Palembang sebagai berikut :
TABEL 2
POPULASI PENELITIAN
No Kelas Jumlah populasi
1. VII.1 40
2. VII.2 39
3. VII.3 40
4. VII.4 40
5. VII.5 40
6. VII.6 40
7. VII.7 40
Jumlah 279
3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2008:62). Dalam pengambilan sampel, diperlukan teknik pengambilan sampel yang disebut dengan teknik sampling. dimana pada dasarnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu: probability sampling dan nonprobability sampling. Probability sampling meliputi, simple random sampling, proportionate stratified random sampling, disproportionate stratified random, sampling area. Nonprobability sampling meliputi sampling sistematis, sampling kuota, sampling incidental, purposife sampling, sampling jenuh, snowball sampling. Dari berbagai teknik sampling, penulis memilih teknik probability sampling yakni simple random sampling, yaitu pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu. Maka sampel yang diambil yaitu kelas VII.4 dengan jumlah 40 orang siswa.
3.3.4 Metode Penelitian
“Metodologi penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu”. (Sugiono, 2008:3). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif. Metode deskriptif kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif /statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2008:14).
3.3.5 Teknik Pengumpulan Data
Sebelum melakukan pengolahan data langkah yang harus ditempuh adalah melakuakan pengumpulan data sebagai berikut:
3.3.5.1 Tes Akhir
Menurut jauhari tes adalah sebuah instrumen pengumpulan data dalam penelitian untuk mengukur pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan responden (Jauhari, 2009:156). Agar di dapat hasil tes yang dipercaya, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. membuat kisi-kisi tes akhir pada materi pengukuran pada sub pokok bhasan besara dan satuan yang terdapat dalam kurikulum dan Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) ( terlampir )
2. menyusun tes akhir berdasarkan pada materi yang terdapat pada kisi-kisi tes akhir yang telah dibuat. Tes ini dibuat berbentuk isay dengan 5 soal ( terlampir )
3. uji coba tes akhir
Uji coba tes akhir ini dilakukan pada akhir pertemuan.
3.3.5.2 Observasi
Observasi adalah suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis (Sutrisno dalam Sugiono, 2008:203) dalam pengumpulan data, penulis menggunakan teknik observasi terstruktur yaitu observasi yang telah di rancang secara sistematis, tentang apa yang akan diamati, kapan dan dimana tempatnya. Jadi observasi tersetruktur dilakukan apabila peneliti telah tahu dengan pasti tentang variabel apa yang akan diamati. Dalam melakukan pengamatan ini peneliti menggunakan instrumen penelitian yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya.
Observasi dalam penelitian ini untuk memperoleh aktivitas belajar siswa setelah pembelajaran berlangsung dilakukan dengan lembar observasi yang terdiri dari indikator dan deskriptor. Aktivitas belajar siswa dapat dilihat melalui alat observasi yang berupa alat chek list. Dalam hal ini peneliti tinggal memberi tanda( √ ) pada setiap kemunculan gejala yang di maksud ( Arikunto, 2002: 136).
3.3.5.6 Teknik Analisis Data
3.3.5.6.1 Analisis Data Tes
Data tes diperoleh dengan memeriksa lembar tes yang kemudian dianalisis untuk melihat tingkat kemampuan siswa dengan cara menjumlahkan skor semua jawaban dari setiap soal. Skor tes yang diperoleh masing-masing siswa kemudian diolah menggunakan rumus berikut :
S = x 100 (Purwanto, 2004:112)
Keterangan : S = Nilai akhir yang diperoleh
R = Skor mentah yang diperoleh
N = Skor maksimum
Selanjutnya skor hasil tes siswa dicocokkan dengan kategori yang dapat dilihat pada tabel kategori penilaian hasil belajar siswa :
Kemudian data hasil tes siswa di berikut : analisis dengan statatistik yaitu dengan menggunakan rumus rata-rata sebagai
(Sudjana, 2002 : 67)
Keterangan : Nilai rata-rata belajar siswa
Jumlah nilai siswa
n = Jumlah siswa
Selanjutnya hasil tes siswa tersebut dipresentasikan pada tabel penilaian di bawah ini :
Tabel 3
Kategori Penilaian Hasil Belajar Siswa
Skor Akhir Kriteria
86 – 100 Sangat baik
76 – 85 Baik
60 – 75 Cukup
Skor Akhir Kriteria
55 – 59 Kurang
≤ 54 Sangat kurang
3.3.5.6.2 Analisis Observasi
Observasi dilakukan untuk mengamati aktivitas siswa selama proses belajar mengajar berlangsung. Untuk mendapatkan data mengenai aktivitas siswa tersebut, maka dibuatlah pedoman observasi dengan indikator dan deskriptor. Adapun indikator yang akan diamati dalam pembelajaran dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4
Indikator dan Deskriptor pada Pedoman Kegiatan Observasi
No. Indikator Deskriptor
1.
Aktivitas visual 1.1 Memperhatikan penjelasan guru tentang materi pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan
No. Indikator Deskriptor
1.2 Memperhatikan dan mengamati guru dalm mendemontrasikan alat peraga
1.3 Mengamati cara penggunaan alat peraga yang dilakukan teman sekelompok
2.
Aktivitas menulis 2.1 Mengerjakan soal di papan tulis
2.2 Menyelesaikan tugas dengan tepat waktu
2.3 Mengerjakan semua butir soal yang di berikan
3. Aktivitas lisan 3.1 Menjawab pertanyaan secara lisan
3.2 Aktif bertanya menenai materi pelajaran
2 3.3 Mampu berkomunikasi dengan guru selama proses belajar mengajar berlangsung
Penilaian terhadap aktivitas siswa dapat dilihat dari tiap indikator yang muncul, setiap indikator mempunyai deskriptor yang menunjang indikator itu.
Adapun cara penilaian lembar observasi dapat dilihat berdasarkan tabel di bawah ini :
Tabel 5
Penilaian Lembar Observasi
Skor Kategori
1 Tidak satupun deskriptor yang tampak
2 Satu deskriptor yang tampak
3 Dua deskriptor yang tampak
4 Tiga deskriptor yang tampak
Setelah diperoleh data observasi, maka data tersebut dianalisis secara deskriptif kuantitatif yaitu dengan cara menng hitung frekuensi dari deskriptor / indikator yang tampak dan dideskripsikan deskriptor / indikator yang dominan atau sedikit nampak. Data dari hasil observasi dari setiap pertemuan dianalisis secara deskriptif kuantitatif dengan menghitung rata-rata frekuensi indikator yang muncul perdiskriptor.
Cara menganalisis daftar cek yaitu sebagai berikut :
a. jumlahkan item-item dari taap-taip indikator yang di check list.
b. cari persentasinya dengan rumus :
NP = R x 100% (Purwanto,2009:102)
SM
Keterangan:
NP = Jumlah persentase yang dicari
SM = Jumlah skor minimun
R = Jumlah skor mentah
100 = Bilangan tetap
Aktivitas siswa tergolong tiggi jika persentase aktivitas siswa mencapai 75% dan aktivitas cukup relatif, aktif, dan sangat aktif. Sedangkan aktivitas siswa tergolong rendah jika persentase aktivitas siswa kurang dari 75% dengan aktivitas kurang aktif dan sangat kurang aktif.
TABEL 6
KATEGORI TINGKAT AKTIVITAS SISWA
Sekor rata-rata Frekuensi
86 -100 %
76 – 85 %
60 – 75 %
55 – 59 %
54 %
Sangat Aktif
Aktif
Cukup Aktif
Kurang Aktif
Sangat kurang Aktif
Jumlah 40
Aktivitas siswa terhadap penerapan pendekatan kelompok dengan menggunakan kosep belajar tuntas digunakan tabel 6. dibawah ini :
TABEL 7
LEMBAR OBSERVASI
Indikator Nama siswa
Deskriptor
1
2 3 4 5 6
Jumlah
1. 1.
2.
3..
2. 1.
2.
3.
3. 1.
2.
3.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Data
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 20 sampai dengan 30 Juli 2010 di kelas VII.4 SMP Negeri 30 Palembang yang berjumlah 39 orang siswa. Penelitian ini dilakukan sebanyak 2 kali pertemuan atau 4 jam pelajaran.
Pengambilan data penelitian ini dilakukan dengan dua cara observasi dan tes. Observasi dalam penelitian ini dilakukan untuk melihat aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Observasi dalam penelitian ini dilakukan dalam dua kali pertemuan. Sedangkan data tes diambil dari nilai tes yang diberikan pada pertemuan ketiga. Tes tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa setelah diterapkan pendekatan kelompok ( group based approach ) dengan
menggunakan konsep belajar tuntas (mastery learning ) pada mata pelajaran IPA fisika.
4.1.1 Deskripsi Data Observasi
Observasi dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung. Lembar observasi terdiri dari 3 indikator. Masing-masing indikator terdiri dari 3 deskriptor. Hasil penelitian dari observasi ini dimaksud untuk mengetahui gambaran tentang tingkat aktivitas siswa saat dilaksanakan penerapan pendekatan kelompok ( Group Based Approach ) dengan menggunakan konsep belajar tuntas ( Mastery Learning ) pada mata pelajaran IPA Fisika di SMP Negeri 30 Palembang. Adapun data observasi dapat dilihat pada tabel aktivitas siswa sebagai berikut :
TABEL 8
DATA AKTIVITAS SISWA
No Indikator/Deskriptor Pertemuan ke -1 Pertemuan ke -2
Frekuensi % Frekuensi %
1. Aktivitas Visual
1.1 Memperhatikan penjelasan guru tentang materi pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan. 39 97,5 32 80
1.2 Memperhatikan dan mengamati guru dalam mendemontrasikan alat peraga. 37 92,5 34 85
1.3 Mengamati cara penggunaan alat peraga yang dilakukan teman sekelompok 25 62,5 37 92,5
2. Aktivitas Menulis
2.1 Mengerjakan soal di papan tulis 24 60 29 72,5
2.2 Menyelesaikan tugas dengan tepat waktu 33 82,5 33 82,5
2.3 Mengerjakan semua butir soal yang diberikan 33 82,5 33 82,5
3. Aktivitas Lisan
3.1 Menjawab pertanyaan secara lisan 32 80 25 62,5
3.2 Aktif bertanya mengenai materi pelajaran 34 85 37 92,5
3.3 Mampu berkomunikasi dengan guru selama proses belajar mengajar berlangsung 37 92,5 39 97,5
Jumlah 249 735 299 747,5
Rata-rata 81.66 83,05
TABEL 9
DATA NILAI OBSERVASI PER INDIKATOR
No Indikator Nilai Observasi Pertemuan ke- Jumlah Persentase
(%)
1 2
Aktivitas Visual 84,16 85,83 169,99 84,99%
Aktivitas menulis 75 79,16 154,16 77,08%
Aktivitas Lisan 85,83 84,16 169,99 84,99%
Jumlah 244,99 249,15 494,14 247,06%
Rata-rata 81,66 83,05 82,35%
4.1.2 Deskripsi Data Tes
Data tes digunakan sebagai data pelengkap, yakni untuk melengkapi data penelitian yang tidak didapatkan dari hasil observasi dan untuk menyesuaikan data yang sudah diperoleh dari hasil observasi. Data tes ini juga berfungsi sebagai data pelengkap untuk menghindari hasil observasi yang bersifat subjektif agar benar-benar diperoleh dari data hasil penelitian yang objektif.
Data tes diberikan kepada siswa setelah dilaksanakan penerapan pendekatan kelompok dengan konsep belajar tuntas pada sub pokok bahasan pengukuran, yaitu pada pertemuan ke-3 setelah pertemuan ke-2 atau pertemuan terakhir. Soal tes yang diberikan kepada siswa berjumlah 5 soal dalam bentuk essay yang telah divalidasikan terlebih dahulu.
Adapun deskripsi data hasil tes siswa dapat di lihat pada tabel sebagai berikut
TABEL 10
HASIL TES BELAJAR SISWA
Nilai
.
64 – 69 10 66,5 665
70 – 75 1 72,5 72,5
76 – 81 10 78,5 785
82 – 87 14 84,5 1183
88 – 93 3 90,5 271,5
94 – 99 2 96,5 193
Jumlah ∑ = 40
∑ = 489
∑ . = 3170
TABEL 11
HASIL TES BELAJAR SISWA SESUDAH REMIDIAL
Nilai
.
78 – 81 3 79,5 238,5
82 – 85 5 83,5 417,5
86 – 89 1 87,5 87,5
90 – 93 1 91,5 91,5
Jumlah ∑ = ∑ = 342
∑ . = 835
TABEL 12
DAFTAR NILAI KELOMPOK
No. Kelompok Nilai yang Diperoleh Kriteria
1. A 95 Sangat Baik
2. B 80 Sangat Baik
3. C 100 Sangat Baik
4. D 100 Sangat Baik
Jumlah 375
Nilai rata-rata 93,75 Sangat Baik
4.2 Analisis Data
4.2.1 Analisis Data Observasi
Dari data hasil observasi dianalisa dengan analisis deskriptif kualitatif yaitu menghitung rata-rata skor indikator yang muncul. Adapun persentase yang diperoleh setiap indikator dapat dilihat pada tabel 8 dan tabel 9.
Pada aktivitas visual pertemuan I deskriptor yang paling dominan tampak terdapat deskriptor 1.1 dan 1.2, sedangkan deskriptor yang paling sedikit tampak pada deskriptor 1.3. yaitu mengamati cara penggunaan alat peraga yang dilakukan teman sekelompok. Hal ini disebabkan karena, beberapa siswa tersebut ingin berebut memperagakan alat peraga sendiri sehingga ada beberapa siswa yang mengalah dan tidak memperhatikan cara penggunaan alat peraga tersebut. Pada pertemuan II aktivitas visual deskriptor yang paling dominan tampak terdapat 1.2 dan 1.3, sedangkan deskriptor yang paling paling sedikit tampak terdapat pada deskriptor 1.1. Dari kedua pertemuan tersebut dapat di lihat bahwa deskriptor yang paling dominan muncul adalah deskriptor 1.1 dan 1.2 yaitu Memperhatikan penjelasan guru tentang materi pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan, dan memperhatikan dan mengamati guru dalam mendemontrasikan alat peraga. Dari setiap pertemuan, perubahan aktivitas visual semakin meningkat, itu dapat dilihat dari perbandingan persentasenya yaitu 84,16% menjadi 85,83%
Pada pertemuan I aktivitas menulis deskriptor yang paling dominan tampak terdapat deskriptor 2.2 dan 2.3, sedangkan deskriptor yang paling sedikit tampak pada pada deskriptor 2.1 yaitu mengerjakan soal di papan tulis. Hal ini disebabkan karena, siswa merasa takut salah pada saat tampil kedepan mengerjakan soal di papan tulis. Pada pertemuan II aktivitas menulis deskriptor yang paling dominan tampak terdapat 2.2 dan 2.3, sedangkan deskriptor yang paling paling sedikit tampak terdapat pada deskriptor 2.1 deskriptornya sama dengan dengan pertemuan 1. Dari kedua pertemuan tersebut dapat dilihat bahwa deskriptor yang paling dominan muncul adalah deskriptor 2.2 dan 2.3 yaitu Menyelesaikan tugas dengan tepat waktu dan Mengerjakan semua butir soal yang diberikan. Dari setiap pertemuan , perubahan aktivitas visual semakin meningkat, itu dapat dilihat dari perbandingan persentasenya yaitu 75% menjadi 79,16%
Pada pertemuan I aktivitas lisan deskriptor yang paling dominan tampak terdapat deskriptor 3.2 dan 3.3, sedangkan deskriptor yang paling sedikit tampak pada pada deskriptor 3.1 yaitu menjawab pertanyaan secara lisan. Hal ini disebabkan karena, banyak siswa yang tidak berani menyampaikan pendapatnya sendiri dan merasa malu dan takut salah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pada pertemuan II aktivitas lisan deskriptor yang paling dominan tampak terdapat 3.2 dan 3.3, sedangkan deskriptor yang paling paling sedikit tampak terdapat pada deskriptor 3.1 yaitu menjawab pertanyaan secara lisan. Hal ini sama dengan pertemuan 1 banyak siswa yang tidak berani menyampaikan pendapatnya sendiri dan merasa malu dan takut salah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dari kedua pertemuan tersebut dapat dilihat bahwa deskriptor yang paling dominan muncul adalah deskriptor 3.2 dan 3.3 yaitu Aktif bertanya megenai materi pelajaran dan mampu berkomunikasi dengan guru selama proses belajar mengajar berlangsung. Dari setiap pertemuan , perubahan aktivitas visual ini sedikit menurun, itu dapat dilihat dari perbandingan persentasenya yaitu 85,83% menjadi 84,16%.
Dari hasil observasi diperoleh data mengenai aktivitas belajar fisika siswa melalui pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas, yaitu sebagai berikut:
TABEL 13
HASIL PENGAMATAN AKTIVITAS SISWA
Kriteria aktivitas Siswa Frekuensi Persentase
Sangat Aktif
Aktif
Cukup Aktif
Kurang Aktif
Sangat kurang Aktif 26
14
0
0
0 65%
35%
0
0
0
Jumlah 40 100
Di lihat dari tabel di atas dapat dinyatakan bahwa aktivitas siswa selama proses penerapan pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas pada mata pelajaran IPA Fisika siswa kelas VII.4 SMP Negeri 30 Palembang tergolong sangat aktif, dengan persentase 86,56 ( dapat dilihat pada lampiran ).
4.1.2.2 Analisis Data Tes
Data dari hasil tes dianalisis dengan metode analisis deskriptif kualitatif yaitu menghitung nilai rata-rata hasil belajar siswa dan hasil pembelajaran siswa secara
berkelompok, hasil belajar siswa dari 40 orang siswa setelah diadakan tes memiliki nilai rata-rata 79,2 dan hasil belajar siswa yang remidial terdapat 10 orang siswa memiliki nilai rata-rata 83,5. Dapat dilihat juga hasil belajar siswa secara berkelompok memliki nilai rata-rata 93,75.
4.3 Pembahasan
4.3.1 Data Observasi
Observasi yang dilakukan ini digunakan untuk melihat aktivitas siswa dalam pembelajaran fisika dengan menggunakan konsep belajar tuntas melalui pendekatan kelompok. Berdasarkan hasil analisis data observasi tingkat aktivitas siswa pada saat penerapan pendekatan kelompok dengan konsep belajar tuntas pada mata pelajaran fisika dapat dikategorikan aktif dengan rata-rata persentase seluruh indikator sebesar 82,35%. Hal ini dapat dilihat dari persentase seluruh indikator pada pertemuan pertama dengan persentase 81,66%, dan pada pertemuan kedua persentase seluruh indikator meningkat menjadi 83,05%. Dari data observasi dapat dilihat juga aktivitas siswa dalam hasil pengamatan pada saat belajar tentang materi pengukuran terdapat 26 orang siswa (65%) tergolong sangat aktif, 14 orang siswa (47,5% ) tergolong aktif.
Berdasarkan tabel pengamatan dapat dilihat bahwa antusias siswa dalam pembelajaran dengan menggunakan konsep belajar tuntas melalui pendekatan kelompok mengalami peningkatan. Dengan konsep pembelajaran ini membuat siswa termotivasi untuk belajar, karena membuat siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan suatu masalah secara bersama-sama untuk dapat menguasai seluruh materi pelajaran yang sudah diajarkan.
Pada pertemuan pertama dengan persentase 81,66% tergolong aktif membahas mengenai materi pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan. Dengan menggunakan konsep belajar tuntas melalui pendekatan kelompok siswa memperhatikan penjelasan guru dan siswa dituntut akif untuk bisa memahami dan menjelaskan mengenai materi pelajaran yang sudah diajarkan yaitu untuk dapat menjelaskan dan memahai pengertian pengukuran, pengertian besaran, penngertian besaran pokok pengertian besaran turunan, cara konversi satuan. Siswa berlomba-lomba dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai materi pengukuran tersebut sehingga keaktifan siswapun tercapai dengan baik dan siswapun tertarik untuk mengikuti materi pelajaran tersebut.
Pada pertemuan kedua, aktivitas siswa mengalami peningkatan dibandingkan dengan aktivitas pada pertemuan pertama yaitu dengan persentase 83,05% yang tergolong aktif. Pada pertemuan kedua ini siswa membahas tentang cara penggunaan alat ukur panjang yaitu mistar, jangka sorong, mikrometer skrup, siswa bersama dengan kelompoknya memperhatikan penjelasan guru dalam mendemonterasikan alat peraga tersebut. Setelah memperhatikan penjelasan guru siswa bersama kelompoknya melakukan percobaan pengukuran dengan menggunakan alat peraga, Selama proses percobaan berlangsung siswa dapat mengetahui bagaimana menggunakan alat ukur panjag yaitu mistar dengan ketelitian 1mm, jangka sorong dengan ketelitian 0.1 mm dengan bagian-bagian jangka sorong yang terdiri dari rahang geser, rahang luar, nonius, dan skala utama. Siswa dapat mempraktekan cara penggunaan mikrometer sekrup yang mempunyai ketelitian 0,01mm dengan bagian - bagian mikrometer sekrup yang terdiri dari selubung ulir, skala utama, selubung luar, roda bergerigi. Dengan penerapan pendekatan kelompok menggunakan konsep belajar tuntas, siswa dapat belajar dari seluruh materi pelajaran yang sudah diajarkan secar terkonsep dan siswa dapat bekerja sama dalam suatu kelompok untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam materi pelajaran secara bersama-sama sehingga kebersamaan dalam belajar dapat tercapai dengan baik, selain itu juga dapat memberi semangat dan memberi rasa tidak malu dan takut antar sesama siswa sehingga aktifitas belajarpun meningkat dengan baik
4.3.2 Data Tes
Dari hasil analisis data tes diperoleh hasil belajar berupa kemampuan siswa dalam mengerjakan soal-soal tes akhir yang diperoleh siswa setelah penerapan pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas pada mata pelajaran IPA adalah baik dengan rata-rata nilai siswa 79,2. Masih terdapat 10 orang siswa yang nilainya < 75 dikatakan belum mencapai ketuntasaan dalam belajar. Hal ini terjadi karena:
a. pendekatan kelompok menggunakan konsep belajar tuntas merupakan model pembelajaran yang sudah ada pada tahun 1920-an dan mulai memudar pada tahun 1930-an, tetapi bagi siswa yang selama ini belajar hanya menggunakan metode yang itu-itu saja belajar tuntas disini merupakan sesuatu yang baru bagi siswa, sehingga siswa perlu penyesuaian diri untuk menggunakan konsep pembelajaran ini.
b. pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas ini menuntut siswa bisa bekerja sama dalam suatu kelompok untuk bisa mengatasi masalah-masalah dalam kegiatan belajar-mengajar, kemudian konsep belajar tuntas disini menuntut siswa agar dapat menguasai materi yang sudah diajarkan, tingkat penguasaan materi berkaitan erat dengan waktu yang dibutuhkan siswa untuk belajar, lamanya siswa mau belajar sangat menentukan kegiatan penguasaan materi, kualitas penyajian materi pelajaran harus benar-benar baik sehingga penguasaan materi dapat tercapai dengan baik, dan kemampuan menangkap bahan sajian merupakan sesuatu yang sangat penting dan harus dikuasai siswa dengan konsentrasi yang baik.
c. pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas ini cara penyampaian materi pelajarannya harus multi metode tidak boleh hanya satu metode saja, alat-lat pembelajaran seperti buku pelajaran, alat peraga harus terencana dengan baik dan lengkap, sedangkan selama ini siswa mengalami keterbatasan alat peraga sehingga harus berbagi menunggu giliran dari kelompok yang sudah menyelesaikan tugas ke kelompok yang belum menyelesaikan tugas, sehingga dalam kegiatan kelompok hanya dua atau tiga orang saja yang mengerjakan tugas tersebut, tidak terasa waktu untuk belajar terkadang habis untuk menunggu giliran dari setiap kelompok untuk memakai alat peraga dalam mengerjakan tugas tersebut.
Dari tabel 11 dapat dilihat hasil belajar siswa sesudah remidial tes akhir. Terdapat 10 siswa yang tadinya belum mencapai ketuntasan dalam belajar pada saat tes akhir dan setelah diadakan remidial, 10 siswa tersebut mengalami ketuntasan dalam belajar. Selama kegiatan remidial siswa yang diremidial diberikan materi ulang membahas materi-materi yang belum dikuasai. Setelah seluruh materti ulang dibahas dan diberikan dengan baik maka diadakan tes akhir, dan dapat dilihat tidak ada lagi siswa yang mendapat nilai < 75 dan dikatakan 10 siswa tersebut tuntas dalam belajar.
Hasil pembelajaran siswa secara berkelompok dapat dikatakan “sangat baik”, nilai rata-rata seluruh kelompok adalah 93,75. Adapun kriteria penilaian kelompok yang dinilai adalah kekompakan dalam kelompok, melakukan pembuktian dengan percobaan, bertanya apabila ada yang tidak mengerti, membuat kesimpulan bersama-sama, dan menjawab pertanyaan teman dengan benar dan tepat (kriteria penilaian setiap kelompok dapat dilihat pada lampiran).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep belajar tuntas merupakan salah satu konsep pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Ini terlihat dari persentase aktivitas belajar siswa yang baik terutama pada aktivitas visual yakni 84,99% dan aktivitas menulis juga dikatakan baik yakni 77,08%. Walaupun masih ada beberapa siswa tidak memunculkan deskriptor dalam tiap indikator tetapi rata-rata persentase seluruh indikator sudah dikategorikan baik yaitu 82,35%. Dari data analisis data tes individu diperoleh rata-rata nilai siswa 79,2 yang dapat dikategorikan baik dan hasil pembelajaran secara berkelompok sangat baik dengan rata-rata nilai seluruh kelompok sebesar 93,75. Berdasarkan data hasil tes dan observasi, pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas baik diterapkan pada mata pelajaran IPA, khususnya pada pembelajaran fisika karena siswa dapat belajar dengan baik dari seluruh materi pelajaran yang sudah diberikan oleh seorang guru dengan baik, dan juga materi disusun secara terkonsep berdasarkan unit-unit kecil meliputi standar kompetensi, kompetensi dasar, alokasi waktu, indikator, tunjuan pembelajaran, materi pelajaran, metode pembelajaran, sumber belajar yang terencana dengan baik. Siswapun tinggal mengikuti pelajaran dengan konsenterasi yang tinggi untuk mendapatkan pengusaan materi pelajaran dengan baik, kerjasama kelompokpun berjalan dengan baik setiap kelompok mampu berdiskusi, mengutarakan pendapat, saling bertanya dalam mengatasi masalah-masalah pelajaran, saling membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar. Siswa yang belum mengerti tidak malu untuk bertanya materi pelajaran kepada temannya dan siswa yang sudah mengertipun mau membantu temannya yang mengalami kesulitan belajar sehingga kerjasama dan kebersamaan dalam kelompokpun dapat tercapai, kemampuan dalam mengutarakan pendapat memicu semangat belajar dalam kelompok bersaing dengan kelompok lain dan setiap individu memiliki semangat untuk meningkatkan hasil belajarnya.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa:
1. aktivitas siswa pada saat penerapan pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas sudah baik. Ini terlihat dari persentase masing-masing indikator aktivitas, yaitu aktivitas visual sebesar 84,99%, aktivitas menulis 77,08%, dan aktivitas lisan 84,99%.
2. hasil belajar siswa secara individu setelah penerapan pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas pada mata pelajaran IPA pokok bahasan pengukuran pada sub pokok bahasan besaran dan satuan termasuk kategori baik dengan rata-rata nilai siswa sebesar 79,2. Masih ada beberapa siswa yang belum mencapai target, tetapi setelah diadakan perbaikan atau remidial seluruhnya dapat mencapai target dengan rata-rata nilai sebesar 83,5. Hasil pembelajaran secara berkelompok sangat baik dengan rata-rata nilai seluruh kelompok sebesar 93,75
5.2 Saran
Berdasarkan manfaat yang ada dalam penelitian ini, peneliti menyarankan kepada guru yang mengajar di SMP Negeri 30 Palembang, khususnya mata pelajaran IPA dapat mencoba pendekatan kelompok dengan menggunakan konsep belajar tuntas. Pendekatan ini juga dapat digunakan model pembelajaran IPA sehingga dapat meningkatkan nilai rata-rata siswa. Bagi peneliti selanjutnya dapat menyiapkan media dan alat-alat pembelajaran dengan lengkap, dapat mengatur waktu dalam penerapan model ini agar lebih terampil lagi sehingga keterampilan siswa dalam kelompok dapat terlaksana secara maksimal.
Langganan:
Postingan (Atom)